Jurnalis Kompas dan Thomson Reuters Liput Perjuangan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Untuk Pertahankan Keberadaan Alas Mertajati

 Admin    12-11-2023    15:20 WIB  

Blog Image

18-20 September 2023, Working Group ICCAs Indonesia bersama Yayasan Wisnu melalui dukungan Rights and Resources initiatives (RRI) mengajak 2 orang jurnalis untuk mengikuti rangkaian kegiatan Jurnalis Trip di Buleleng, Bali. Mereka adalah jurnalis Kompas dan Thomson Reuters. Kegiatan Jurnalis Trip ini bertujuan untuk belajar dan menggali lebih dalam mengenai upaya Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam memperjuangankan Alas Mertajati (red: hutan) kembali menjadi hutan adat.

 

Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari, yang dimulai diskusi terfokus untuk menggali sejarah Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dan situasi terkini yang terjadi di Wilayah Adat dan Hutan Mereka. Putu Ardana Ketua Tim-9 menjelaskan “Kami sudah ada di Tamblingan sejak abad ke-9. Ada manuskrip yang ditemukan di Pura kami dan membuktikan keberadaan kami sejak tahun 844 saka atau sekitar 922 masehi. Awalnya kami tinggal di sekitar hutan dan danau, namun leluhur kami meminta agar kami pindah ke wilayah yang lebih rendah, dengan alasan hutan dan danau harus disucikan, karena itulah sumber kehidupan kami, sehingga pada abad ke-14 kami meninggakan hutan yang sekarang disebut sebagai Alas Mertajati dan danau-nya, ke wilayah yang sekarang ini kami tinggali yang disebut sebagai Catur Desa”.

 

Saat ini, masyarakat Adat Catur Desa juga sedang menghadapi berbagai macam tantangan internal dan eksternal “kami sudah beberapa kali menghadapi investor yang datang sudah membawa izin dari pusat,  ya kami didekati dan diojok-ojok untuk mau menerima mereka, tapi ada sebuah pernyataan yang membuat hati kami sakit, mereka bilang seperti ini 'ritual dan kebudayaan yang bapak lakukan sangat indah dan luar biasa sekali, pasti bisa jadi tontonan yang menarik untuk para turis'  jadi kami ini dianggap seperti topeng monyet karena bisa jadi bahan tontonan katanya” ujar Putu Ardana.

 

Putu Ardhana (kanan) dan I Gusti Agung Ngurah (kiri)  menjelaskan sejarah Masyarakat Adat Dalam Tamblingan di Catur Desa dan upaya memperjuangkan Alas Mertajati sebagai hutan adat.


 

I Gusti Agung Ngurah Pradnyan yang disapa sebagai Dane pegrajeg (read: pimpinan adat) menambahkan bahwa Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menolak keberadaan izin investasi diwilayah mereka dengan sikap tegas, meskipun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui surat resmi telah meminta kepada Komunitas Adat Dalem Tamblingan untuk dapat menerima investor yang masuk. “Kami memang tidak punya wewenang untuk mencabut izin itu, tapi kami sampaikan bahwa kami tidak bisa menerima mereka (baca: investor), dan kami punya cara untuk menunjukkan hal tersebut, kami siap mempertahankan Alas Mertajati dengan jiwa dan raga kami,” jelas Dane Pegrajeg.

 

Masyarakat Adat Dalem Tamblingan meyakini bawa kearifan lokal yang mereka  sudah jalankan selama lebih dari satu abad untuk melindungi Alas Mertajati jauh lebih efektif dalam menanggulangi dan mencegah ancaman kerusakan bagi hutan dan danau. Alas Mertajati sendiri merupakan wilayah yang disucikan sehingga tidak ada aktivitas manusia yang diperkenankan untuk dilakukan di kawasan Alas Mertajati. “Bagi kami hutan dan danau ini adalah Pura, sehingga harus disucikan, harus steril dari aktivitas yang dapat merusak kesuciannya. Dan menurut kami, ini adalah salah satu pendekatan konservasi yang paling ketat, tidak perlu dibagi-bagi menjadi wilayah pemanfataan, produksi dan lain-lain. Intinya itu disucikan, titik, tapi sayangnya sampai saat ini usaha kami untuk mendapatkan pengakuan hutan adat kami belum membuahkan hasil, padahal sudah banyak yang kami lakukan juga” tambah Putu Ardana.

 

Baca lebih lanjut : https://www.context.news/nature/in-bali-sea-sun-sand-tourists-threaten-ancient-rainforest

 

Pada hari kedua, kelompok pemuda yang dimotori oleh BRASTI (Baga Alas Mertajati) mengajak peserta untuk forest walking dengan tujuan agar peserta dapat memahami kondisi hutan Alas Mertajati beserta danaunya saat ini. Willy salah seorang anggota BRASTI memandu kegiatan ini dengan sangat piawai dalam mencertikan sejarah dan apa arti Alas Mertajati bagi mereka “Sangat mudah untuk mengetahui batas dari wilayah adat kami, karena leluruh kami sudah memberikan penanda batasan dengan membentuk pura-pura misalnya yang ada dibatas antara danau Buyan dan Tamblinga, ada sekitar 17 pura yang menjadi penanda (red: batas). Yang unik lagi dari pura yang ada di Alas Mertajati ini adalah tidak adanya pagar yang memisahkan pura dengan areal yang ada disekitarnya, sehingga lebih menyatu dengan alam, Pura dibangun dengan menyesuaikan kondisi hutan, sehingga hutan maupun pura bagi kami adalah tempat yang sama sama disakralkan. Hutan bagi kami adalah tempat yang menghadirkan kebahagiaan dan ketenangan, kita bisa dengar suara burung dan bisikan angin yang menangkan” terang Willy.

 

Para peserta jurnalis trip melakukan forest walking dipandu oleh BRASTI


 

Selepas forest walking, para peserta melanjutkan diskusi dengan para Menega atau para penjaga danau. Mereka menceritakan bagaimana degradasi hutan dan perubahan iklim telah memberikan dampak langsung terhadap masyarakat, “air ini mulai kering, padahal kami inilah yang menjadi penyedia air bagi desa-desa yang berada didaerah yang lebih bawah, bahkan sampai ke wilayah denpasar dan sekitarnya, makannya kami punya tradisi yang disebut Alilitan Karya itu, kami berjalan ke wilayah pantai di Loina sekitar 26 kilo meter, ribuan orang itu ikut, dan kami disuguh berbagai macam makanan disepanjang jalan, ya itu seperti ucapan terimakasih dari masyarakat kepada kami, karena kami sudah jaga sumber mata air di Alas Mertajati ini.”

 

Menega (penjaga danau) sampaikan terkait dampak degradasi hutan dan perubahan iklim terhadap lingkungan dan masyarakat


 

Pada hari ketiga, peserta diajak untuk mencermati kehidupan sehari-hari masyarakat di Tamblingan sebagai petani, juga mengobservasi perubahan fungsi lahan yang terjadi, ditandai dengan semakin berkurangnya Subak- Subak (read: areal persawahan) di Catur Desa. Menurut Jro Mangku Nyiman Mangku Tirta atau Kelian Subak ada banyak faktor yang menyebabkan semakin berkurangnya Subak, salah satunya akibat meningkatnya penanaman tanaman Cengkih yang bernilai jual lebih tinggi pada tahun 90-an.

 

Sesi akhir dari kunjungan lapang ini ditutup dengan obrolan ramah-santai dengan BRASTI. 12 anggota BRASTI hadir yang menyampaikan sambutan yang ramah kepada peserta kegiatan, dari proses diskusi ini peserta dapat menangkap keragaman latar belakang anggota BRASTI, mulai dari anggota DPRD, guru, pelaku industri wisata, editor dan lain sebagainya yang membuatkan BRASTI semakin terlihat mapan sebagai sebuah organisasi. “mungkin alasan kami sama saja rata-rata, bergabung ke BRASTI ini seperti panggilan jiwa kami, ada kesadaran didalam diri kami untuk lebih banyak berkontribusi kepada Desa kami sendiri. Hari ini banyak sekali tantangan yang kami hadapi untuk mempertahankan Alas Mertajati, dan lewat BRASTI ini kami bisa saling belajar dan menguatkan perjuangan kami semua agar Alas Mertajati tetap ada dan bisa tetap terus dirasakan manfaatnya oleh generasi yang akan datang” Jelas Jro Adi selaku wakil ketua BRASTI.

 

Diandra Dupadi, seorang anggota divisi pendidikan BRASTI menambahkan, “para pimpinan adat ini adalah inspirasi kami, dari merekalah kami belajar bagaimana hidup harmonis dengan alam, bagaimana cara kita seharusnya memperlakukan alam yang telah memberikan kita kehidupan, saya belajar dari Ayah saya (red Putu Ardana) meskipun beliau tidak pernah mengajak saya langsung untuk bergabung, tapi saya sering mendengar cerita saat saya membantu nyuguh dirumah dan akhirnya tertarik, kami tidak merasakan batasan antara generasi yang lebih tua maupun muda, dari yang lebih tua kami belajar, dari yang lebih muda para orang tua menitipkan pesan-pesan dan warisan kebudayaan”.

 

Pimpinan lembaga yang hadir diwakili oleh Putu Ardana dan Dane Pagrajeg menegaskan alasan dari dibalik inisiatif pembentukan BRASTI, bahwa masyarakat menyadari pentingnya transformasi dalam memperjuangkan wilayah kehidupan mereka. Sebab merekalah yang akan mewarisi pengetahuan, kebudayaan dan perjuangan-perjuangan mereka di masa yang akan datang.

Photo bersama peserta jurnalis trip, WGII, RRI, Yayasan Wisnu dan Masyarakat Adat Dalam Tamblingan


 

Liputan lainnya terkait kegiatan jurnalis trip dapat dilihat pada tautan berikut:

https://www.kompas.id/baca/english/2023/10/05/en-mengurai-kompleksitas-pengakuan-hutan-adat-dalem-tamblingan

https://www.kompas.id/baca/english/2023/10/11/en-tunas-tunas-penjaga-alas-mertajati