Bank-bank besar di Indonesia turut andil dalam mendanai kerusakan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati

 Admin    Jumat, 29 Maret 2024  
Blog Image

Jakarta, 27 Maret 2024, Tuk Indonesia bersama koalisi Forest and Finance merilis laporan Banking on Biodiversity Collapse. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa bank memiliki andil dalam mendorong hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim karena telah menggelontorkan pendanaan kepada perusahaan sektor kehutanan dan agribisnis yang komoditasnya beresiko terhadap hilangnya hutan tropis di Indonesia.

 

“berdasarkan kapitalisasi pasar per Juni 2023, bank-bank tersebut menyediakan pendanaan sekitar USD 30,5 miliar atau sekitar 40% dari total kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp & paper, kayu, dan karet yang beroperasi di Indonesia.” ucap Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

 



 

Ia menambahkan bahwa “Bank Mandiri, BCA, BRI, dan BNI berada di posisi teratas sebagai bank terbesar di Asia Tenggara yang meresikokan hutan di Indonesia. Dan nasabah yang menerima kredit terbesar adalah Sinar Mas Group (SMG), pengendali Asia Pulp & Paper dan Golden Agri Resources. Ini teridentifikasi menerima 38% dari kredit yang dikucurkan.”

 

Menurut laporan tersebut konsesi Perkebunan pulp telah menyumbang emisi sebesar 103 juta ton CO2 per tahun yang setara dengan 7% total emisi nasional Indonesia pada tahun 2020. Artinya aliran pendanaan yang diberikan bank terhadap perusahan penyumbang emisi telah turut serta mendorong terjadinya perubahan iklim. Diketahui juga bahwa perusahan-perusahaan tersebut memiliki rekam jejak pelanggaran HAM termasuk perampasan wilayah masyarakat adat.

 

Berdasarkan pendokumentasian Pusaka, ada 20 grup Perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan Perkebunan skala luas di Papua. Salah satunya adalah Korindo group atau Tunas Sawa Erma Group (berubah nama sejak 2021) yang menguasai lahan 148.652 ha melalui tujuh perusahaan. Franky Samperante, Direktur Pusaka menilai, “investasi yang masuk di Papua telah menyebabkan meluasnya alih fungsi kawasan hutan adat menjadi areal usaha komoditi komersial dan beralihnya kontrol penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir pemodal, yang menyingkirkan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.”

 

Franky berpendapat mengenai ironi dari fenomena perubahan iklim yang terjadi hari ini bahwa, “perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam telah berkontribusi terhadap deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati namun mereka justru mendapatkan pembiayaan yang menguntungkan dari lembaga keuangan untuk mengembangkan bisnis baru, yaitu perdagangan karbon.”

 

Laporan Banking on Biodiversity Collapse ini menjadi bukti bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST atau “ESG”) bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal hingga gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati. Hal ini tentunya kontra produktif dengan komitmen Indonesia untuk Paris Agreement dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework dimana Indonesia telah menetapkan target yang ambisius untuk menghentikan dan menggembalikan hilangnya hutan, degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

 

Baca juga: Policy Brief : Mempertimbangkan Kunming - Montreal Global Biodiversity Framework untuk mendukung pendekatan konservasi berbasis hak dan praktik konservasi oleh masyarakat adat di Indonesia 

 

#AN