Oleh: Cindy Julianty dan Kasmita Widodo
“Ber-ayam kuau, berkambing kijang, berkerbau rusa, beratap lipai, berdinding banir.” artinya mereka pantang memakan hewan yang diternakan, dan tidak menebang pohon hanya untuk membangun sebuah rumah .
Orang Rimba Makekal Ulu adalah satu dari beberapa rombong Orang Rimba yang telah hidup selama bertahun-tahun di wilayah hutan yang terletak di Kecamatan Muaro Tabir dan Muaro Sebo Ulu Kabupaten Tebo, Jambi. Pada tahun 2000, pemerintah menetapkan wilayah hutan yang mereka diami tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas untuk melindungi ruang hidup Orang Rimba. Pada zaman dahulu, Orang Rimba dipimpin oleh Depati, karena jumlah orang rimba terus berkembang dan semakin banyak, kepemimpinan suatu rombong dipimpin oleh Temenggung. Dalam menjalani kehidupannya, Orang Rimba Makekal Ulu melakukan perlindungan pada beberapa areal hutan sebagai daerah sakral, area inilah yang kemudian yang diregistrasikan sebagai AKKM Orang Rimba Makekal Ulu.
Areal yang dilindungi tersebut antara lain yakni, Hutan Tano Nenek Puyang, merupakan hutan adat yang dibentuk oleh inisiatif masyarakat adat Orang Rimba Makekal Ulu pada tahun 2010. Pebentukan areal ini dilatar belakangi karena tingginya tingkat kebutuhan lahan untuk kebun karet dan adanya acaman dari orang luar. Selain itu juga Orang Rimba membutuhkan tempat untuk tradisi adat yang disebut bebalai, ritual dewa-dewa, tempat orang meninggal, tempat melahirkan dan lain-lain. Hutan Adat atau yang disebut hutan larangan tersebut tidak boleh dibuka untuk kegiatan produksi seperti berkebun, karena hutan ini hanya diperuntukan untuk aktivitas ritual Orang Rimba Makekal Ulu saja.
dokumentasi ICCA di Makekal Ulu | doc: Aldya Saputra
Selain itu, mereka juga memiliki wilayah lain yang sudah di konservasi oleh Orang Rimba sejak Jaman Dahulu yang disebut dengan Kelaka, Benteng, dan Bukit Betempo. Ketiga tempat itu disebut Tano Bedewo (tanah berdewa) yakni tempat bersamayamnya dewa-dewa menurut kepercayaan Orang Rimba, sehingga tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah ini.
“Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano tembilang dicacak disitu tamanan tumbuh, dimano baiwak terjun disitu anjing telulung, dimano mentiko pecah disitu nasi tetumpah dimano tumbuh konflik disitulah penyelesaiannya”, begitu seloko adat Orang Rimba. Relasi yang kuat antara Orang Rimba dengan alam dapat terlihat dari berbagai aturan berupa larangan-larangan. Orang Rimba tidak boleh merusak hutan sembarangan karena mereka memiliki larangan-larangan di dalam hutan sehingga tidak boleh dirambah dan ditebang apalagi dirusak. Karena Orang Rimba menganggap bahwa wilayah tersebut memiliki nilai yang sakral dan memiliki fungsi yang sangat tinggi.
Kemudian ada pohon sialang, setubung, dan pohon tenggeris yang tidak boleh ditebang di dalam hutan karena pohon tersebut memiliki nilai-nilai budaya dan kemanfaatan yang tinggi. Begitu juga dengan satwa liar, ada beberapa satrwa liar yang dilarang untuk dikonsumsi karena dipercaya sebagi “dewa” yang mereka hormati seperti harimau, burung rangkong, burung kuau, siamang, ungko, simpai, monyet dan trenggiling. Nilai-nilai kearifan lokal Orang Rimba mereka percaya bahwa alam akan memberikan balasan bagi manusia yang merusak alam untuk kepentingannya sendiri.
Pada bulan September 2018, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datang ke Bukit Suban, untuk menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Sarolangun. Penandatanganan perjanjian kerjasama yang dibuat prasasti itu sebagai tanda komitmen balai mewakili pemerintah untuk memadukan aturan adat Orang Rimba dengan aturan pemerintah dalam pengelolaan TNBD. Pendatanganan kerjasama anatara KSDAE dan pemerintah Soralangun ini menjadi penting, sebagai wujud pengakuan Orang Rimba sebagai pemilik sejati area hutan di Taman Nasional Bukit Dua Belas.