Wisata Kalibiru, Perjuangan Kelompok Tani Mandiri untuk Kelola Hutan Negara

Blog Image  

 Admin    08-05-2024    00:00 WIB  

“Sini, saya fotoin, mba”  seorang bapak paruh baya, pengelola wisata Kalibiru, menawarkan dengan ramah ketika saya sedang memfoto signage Kalibiru yang berada tidak jauh dari loket pintu masuk. Ramah-tamah singkat ini kemudian berkembang menjadi pembicaraan tentang sejarah Kalibiru dan bagaimana kondisinya kini. Kalibiru adalah lokasi wisata yang terletak di Dusun Kalibiru, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo,Provinsi DI Yogyakarta. Area ini merupakan Hutan kemasyarakatan (HKm) yang dikelola oleh Kelompok Tani Mandiri. Untuk Kulon Progo sendiri, ada tujuh izin HKm. Ketujuh kelompok tani pengelola HKm tersebut kemudian membentuk paguyuban yang diberi nama Lingkar.

 

Sebagai pengelola wisata Kalibiru, ia merasa miris dengan nasib wisata Kalibiru hari ini yang semakin sepi pengunjung. Ia mengatakan bahwa jauh sebelum Pandemi COVID 19, jumlah pengunjung mencapai ribuan orang per harinya. Namun kini, mungkin sekitar 1-3 orang perharinya. Padahal menurutnya, Kalibiru adalah salah satu pelopor wisata alam yang menawarkan spot foto instagramable di Jogja. Semakin menjamurnya model wisata yang serupa dengan Kalibiru, menurutnya menjadi salah satu faktor lesunya minat pengunjung ke Kalibiru. Meski demikian, masyarakat tetap melakukan inovasi-inovasi pengembangan wisata, sebab Kalibiru merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitar.

 

“Di atas lebih bagus pemandangannya, mba” ia mengajak saya untuk melanjutkan jalan ke lokasi spot foto yang menjadi primadonanya wisata kalibiru. Kami menelusuri jalan mendaki yang tidak terlalu terjal, namun cukup membuat nafas saya agak tersengal-sengal. Jarak antara spot foto dengan loket pintu masuk tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter. Pemandangan di kiri jalan adalah bukit landai penuh pepohonan sedangkan di kanan jalan adalah lereng yang tidak terlalu curam dan juga ditumbuhi pepohonan yang rapat. “Dulu ini gundul mba, sebelum kami kelola.” Ia menunjuk area sekitar ketika kami tiba di lokasi spot foto. Lokasi tersebut memang memiliki keindahan alam yang membuat kita akan mengabadikan lanskap tersebut dalam jepretan kamera. Perbukitan asri berwarna hijau dengan dengan danau (kali yang dibendung) ditengahnya, ditambah udara yang sejuk dan kabut tipis yang sesekali melintasi perbukitan.   

 

Hari ini lokasi spot foto cukup ramai karena kedatangan rombongan peserta pelatihan Leading The Change. Saya pun merupakan bagian dari rombongan tersebut. Kami secara khusus datang ke kalibiru untuk belajar bagaimana masyarakat mengelola HKm termasuk perjuangan mereka untuk mendapatkan hak pegelolaan atas kawasan hutan. Sebelum kami mengunjungi lokasi spot foto tersebut, kami melakukan diskusi dengan pengurus wisata Kalibiru di joglo, di dekat loket pintu masuk. 

 


Spot foto Kalibiru

Spot foto wisata kalibiru (foto: Asti Noor/WGII)


 

Menurut penuturan Pak Sadali sebagai ketua pengurus HKm Mandiri, jauh sebelum tahun 2000-an, masyarakat secara “kucing-kucingan” masuk ke hutan dan mengambil kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kala itu, belum ada skema perhutanan sosial, sehingga mereka yang masuk dan mengambil kayu di hutan dianggap sebagai perambah ilegal oleh negara dan jika ketahuan akan dijatuhi hukuman. Warga terpaksa mengambil kayu dan berkebun secara diam-diam, karena mereka tidak punya banyak pilihan. Sebab kondisi mereka saat itu cukup sulit karena sebagian besar wilayah mereka adalah kawasan hutan negara dengan fungsi Hutan Produksi, sementara lahan tersedia yang boleh digarap oleh masyarakat sangat terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. 

 

Pada tahun 1995, pengelolaan hutan di Indonesia mulai mengalami pergeseran dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat. Hal ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No 622/1995 tentang Pedoman HKm. Kebijakan itu pada dasarnya untuk mengakomodir masyarakat turut serta mengelola hutan sesuai dengan fungsinya pada hutan produksi dan hutan lindung. 

 

 

Awal berdirinya Kelompok Tani Mandiri

 

Berawal dari tahun 1999, Yayasan Damar mulai mengajak masyarakat untuk memikirkan kelestarian hutan. Lalu, pada tahun 2000-an, mulai timbul keinginan masyarakat untuk mengorganisir diri dalam kelompok tani dan menanami hutan yang semakin gundul. 

 

“Tahun 1995 - 2000 kami melihat kerusakan hutan semakin parah, sehingga pada tahun 2001, kami membentuk kelompok tani, lalu kami berjuang untuk mendapatkan izin pengelolaan hingga ke bupati” kata pak Sadali. 

 

Mereka sampaikan permohonan izin kepada Bupati Kulon Progo waktu itu, Toyo Santoso Dipo. Mereka minta diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa menghijaukan hutan negara, sebagaimana hutan rakyat yang selama ini mereka kelola.

 

“Kami minta diberi kesempatan 1-2 tahun. Nanti kalau memang rusak silahkan dicabut izinnya. Akhirnya bupati memberikan izin selama 5 tahun.” Ucap Pak Sadali.

 

Izin sementara pun keluar untuk periode tahun 2003 sampai 2008. Mereka diberi izin mengelola hutan negara seluas 29 hektar yang berada pada petak 28 dan 29. Hutan di Kalibiru ini kemudian mereka tanami dengan beragam tanaman kayu seperti jati, mahoni, akasia, dan sonokeling yang bibitnya mereka cari dan upayakan secara mandiri. Mereka berharap kelak tanaman tersebut nantinya dapat mereka panen dan menjadi sumber pendapatan.

 

Setelah dievaluasi, akhirnya Kelompok HKm Mandiri, melalui Surat Keputusan Bupati Kulon Progo No 452/2007, diberi Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) hingga 35 tahun, sejak 15 Februari 2008. Sayangnya, izin yang diterbitkan adalah untuk Hutan Lindung, bukan Hutan Produksi seperti yang digadang-gadang oleh HKm Mandiri seperti semula.

 

“Perubahan fungsi (kawasan hutan) ini membuat kami kecewa karena setelah lama berjuang untuk mendapatkan izin pengelolaan dan menanam pohon, ketika kami ingin panen kayu tidak bisa, sebab telah berubah menjadi hutan lindung” Kata Pak Kidal, salah satu pengelola HKm.

 


Diskusi dengan kelompok tani, pengelola Kalibiru (foto: Asti Noor/WGII)


 

Kekecewaan yang mereka rasakan, tidak membuat mereka kehilangan semangat untuk mengelola Kalibiru. Tahun 2008, beberapa warga termasuk Pak Sadali mulai mencari potensi pengembangan wisata alam. Mereka menyadari bahwa lanskap Kalibiru sangat indah dan dapat dkembangkan untuk wisata. Apalagi ketika hutan yang tadinya gundul, kini mulai kembali hijau dan membuat iklim mikro di Kalibiru menjadi lebih sejuk dan dingin.

 

 

Masyarakat dan Hutan

 

Pengelolaan hutan oleh masyarakat di Kalibiru telah berhasil mengubah wajah bukit gundul hutan negara menjadi hijau kembali. Tidak hanya itu, hal tersebut juga mengubah paradigma hubungan antara masyarakat dan hutan, termasuk di kalangan anak mudanya. Dulu, anak muda tidak tertarik mengelola hutan. Namun, sejak wisata Kalibiru menjadi primadona Kulon Progo, banyak anak muda yang kembali ke desa dan mereka bersama generasi tua mengembangkan wisata di Kalibiru. 

 

Dalam perkembangannya, kelompok tani HKm Mandiri juga merintis tanaman buah-buahan dan empon-empon di bawah tegakan yang kemudian hasil panennya mereka olah menjadi jamu herbal dan makanan ringan. Banyak sekali manfaat yang masyarakat dapatkan dari pengelolaan hutan Kalibiru, baik dari sisi ekonomi, juga dari sisi tercukupinya ketersediaan air bersih dan udara bersih. Kelompok Tani Mandiri membuktikan bahwa ketika masyarakat diberikan hak pengelolaan atas hutan maka dapat mendorong transformasi sosial dimana dapat mengubah masyarakat subsistensi menjadi masyarakat produktif dengan tetap mempertahankan aspek-aspek ekologis.

 

#AN