RUU KSDAHE disahkan, Atur Areal Preservasi dan Hutan Adat: Bagaimana isinya?

Blog Image  

 Admin    29-07-2024    00:00 WIB  

 

Oleh : Cindy Julianty, M. Ihsan Maulana, Lasti Fardilla Noor


Perjalanan RUU KSDAHE dapat dikatakan cukup panjang untuk dapat disahkan. Penyiapan RUU ini, bahkan sudah dimulai oleh DPR sejak tahun 2016 dengan nama RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (KKHE), namun RUU ini belum berhasil dibahas secara intensif dan disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah. 

 

WGII menyoroti setidaknya empat hal penting dalam konteks dinamika yang terjadi dalam proses penyusunan RUU KSDAHE. Pertama, dorongan untuk mengubah pendekatan UU 5/90 (KSDAHE) agar lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia. Kedua, Pembagian kewenangan penyelenggaraan konservasi berbasis sektor. Ketiga, Penyelarasan kebijakan konservasi dengan berbagai perubahan dan komitmen internasional terkait lingkungan hidup. Keempat, perbaikan tata kelola kawasan konservasi berbasis penegakan hukum.

 

WGII sendiri sejak awal inisiatif pengusulan RUU KSDAHE telah mengawal isu krusial terkait dengan partisipasi dan hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Hal ini didasari oleh berbagai fenomena konflik yang terjadi di Kawasan Konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah adat atau wilayah kelola rakyat. Termasuk terkait dengan lemahnya dimensi Hak Asasi Manusia pengelolaan kawasan konservasi dan pengelolaan kehati. 

 

UU 5/90 berdampak terhadap peningkatan jumlah luasan konservasi, namun dilakukan dengan cara menempatkan masyarakat sebagai ‘ancaman’ pelestarian kawasan dan menyebabkan berbagai praktik pengeksklusian masyarakat, perampasan hak, bahkan pemiskinan bagi masyarakat karena pembatasan terhadap akses masyarakat disekitar Kawasan Konservasi1.

 

WGII bersama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal termasuk organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan berbagai masukan substantif dalam RUU KSDAHE dalam bentuk policy brief, DIM, dan masukan naratif lainnya. Namun, dalam naskah RUU KSDAHE yang disahkan pada 9 Juli 2024, WGII masih mengamati berbagai pasal yang bertendensi ‘bermasalah’ belum dihilangkan dari UU KSDAHE. Walhi sebagai anggota WGII telah menelaah pasal-pasal bermasalah ini dalam Policy Briefnya (Policy Brief: Delapan Catatan Krusial RUU Perubahan KSDAHE)

 

Aturan Bermasalah Dalam UU KSDAHE

 

1. Ambiguitas Pengaturan Areal Preservasi

Berdasarkan dokumen naskah UU KSDAHE yang diterima melalui berbagai sumber, WGII masih menemukan terminologi yang disebut Areal Preservasi. Terminologi ini disepakati oleh tim Panitia Kerja RUU KSDAHE untuk menggantikan kategori Ekosistem Penting di luar Kawasan Konservasi untuk menjawab tuntutan global untuk memenuhi target perluasan wilayah konservasi 30x30, salah satunya melalui pendekatan OECMs (Other Effective Areas Based Conservation Measures).

 

Sebagai pengganti Ekosistem Penting di luar Kawasan Konservasi, Areal preservasi diatur dalam Pasal 5A,  Pasal 8 ayat (3) dan (4) serta pasal 9. Areal Preservasi dimaknai sebagai sebuah wilayah yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi namun berada diluar KSA/KPA, karena isunya, banyak kawasan kawasan esensial atau penting tidak mendapatkan cukup atensi sehingga memiliki ancaman tinggi untuk deforestasi dan penurunan fungsi ekosistem akibat alih fungsi lahan.

 

Areal Preservasi sendiri terdiri dari (a) daerah penyangga Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) koridor ekologis atau ekosistem penghubung; (c) areal dengan nilai konservasi tinggi; (d) areal konservasi kelola masyarakat; dan/atau (e) daerah perlindungan kearifan lokal. Lebih lanjut pelaksanaan penetapan Areal Preservasi akan dituangkan dalam peta arahan dengan memanfaatkan teknologi terbaru dan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah.

 

WGII mencatat bahwa interpretasi Areal Preservasi terhadap OECMs juga tidak begitu jelas. OECMs2 merupakan sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengakui praktik konservasi yang dilakukan oleh aktor di luar negara non-state actors yang berkontribusi terhadap konservasi, dimana salah satu aspek kunci yang ditekankan dalam OECMs adalah dampak jangka panjang dari sebuah praktik yang berkontribusi terhadap konservasi yang didasari oleh fungsi, sosial, budaya, atau fungsi lokal lainnya.  Sehingga, suatu wilayah yang ditetapkan sebagai OECMs tidak harus berfungsi dan memiliki tujuan pelestarian saja namun justru menekankan nilai-nilai lokalitas, termasuk pengetahuan tradisional.

 

Dengan demikian, istilah Areal Preservasi dengan bermakna preserve atau pengawetan sendiri menjadi tidak tepat dan akan mengalienasi nilai lain seperti budaya, spiritual, dan pemanfaatan berkelanjutan (terutama oleh masyarakat adat) - customary sustainable use. Apalagi, pasal 9 ayat (1) memerintahkan agar pemegang izin di Areal Preservasi untuk melakukan kegiatan konservasi, dengan sanksi pelepasan hak atas tanah dalam hal pemegang izin tidak mengindahkan kewajiban ini. Hal ini semakin menunjukan “ambiguitas” pengaturan Areal Preservasi, karena jika Areal Preservasi ini tidak dimaknai dengan baik maka bisa dijadikan dasar untuk mengkriminalisasi masyarakat yang hidup di Areal Preservasi, ditengah situasi dan kondisi konflik yang masih terjadi di kawasan konservasi selama ini.

 

Kondisi ini di perumit dengan ketiadaan pasal yang mengatur FPIC free, prior, informed consent serta mekanisme resolusi konflik dalam penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi (termasuk Areal Preservasi). Sehingga terkesan bahwa pengaturan soal Areal Preservasi hanya berorientasi pada target perluasan Kawasan saja, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, HAM, budaya dan keberlanjutan.

 

2. Areal Konservasi Kelola Masyarakat di Areal Preservasi belum mencerminkan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) inisiatif dari masyarakat

Sebagai bagian dari Areal preservasi, UU KSDAHE mendefinisikan AKKM dalam ketentuan penjelasan sebagai “Areal yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat setempat untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya menurut kearifan lokal, termasuk pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”. jika merujuk pada definisi ini maka ada 3 kunci nilai AKKM versi UU KSDAHE yakni 1) wilayah yang dikelola; 2) untuk melindungi kehati dan ekosistem 3) dapat dapat berupa pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan kehati dan ekosistem.

 

WGII sendiri memaknai AKKM atau ICCA (Indigenous and local communities conserved territories dan areas) ke dalam 3 karakter utama3: yakni 1) relasi masyarakat dengan wilayah dengan alasan sejarah, budaya atau spiritual; 2) adanya tata kelola (aturan, kelembagaan, pengambilan keputusan) 3) tata-kelola atau praktik ‘berkontribusi’ terhadap konservasi alam. 

 

Meskipun kata konservasi tidak pernah ditemukan di dalam kosakata budaya bagi masyarakat, melalui interpretasi ini, ICCAs/ AKKM dimaknai sebagai sebuah praktik pengelolaan SDA yang memiliki nilai holistik, dinamis dan didasarkan oleh nilai kosmovisi dari berbagai runtutan nilai sejarah dan pengetahuan tradisional masyarakat sendiri, karenanya tidak serta merta praktik ini ditujukan untuk ‘pelestarian alam atau konservasi’, melainkan sebagai bagian hidup dan gaya hidup part of life juga cara pandang dalam memperlakukan alam. 

 

Misalnya saja praktik AKKM/ICCAs yang paling sederhana dapat berupa sistem perladangan tradisional yang secara jangka panjang berkontribusi terhadap konservasi dan keberlanjutan jenis padi lokal serta extended habitat dari berbagai spesies kunci yang ada di dalam ekosistem tersebut. Dalam pengalamanya, WGII telah mendokumentasikan berbagai model  AKKM/ICCAs ini seperti tana ulen, leuweung tutupan, tembawang, sasi, awig-awig dan lain sebagainya.

 

Salah satu hal penting dari AKKM/ICCAs sendiri adalah hak tenurial sebagaimana karakter pertama dari AKKM, AKKM sebagai wilayah tidak bisa dilepaskan dari praktiknya, sehingga pengaturan pelepasan hak atas tanah di wilayah AKKM (sebagai Areal Preservasi) justru kontradiksi dengan tujuan untuk melindungi praktik, pengetahuan tradisional, nilai budaya dan sejarah itu sendiri.

 

Pengaturan AKKM dalam UU KSDAHE telah tereduksi dari makna sebenarnya, sebab masih menggunakan motif ‘perlindungan-konservasi’ sebagai indikator utama dalam pengelolaan kehati. Padahal, RUU KSDAHE versi juli 2022 sudah cukup baik dalam menerjemahkan AKKM sesuai dengan pandangan WGII maupun masyarakat sipil.

 

3. Pasal Karet tentang Hutan Adat

Pasal 8 ayat (2) UU KSDAHE memasukan adanya Hutan Adat sebagai bagian wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang meliputi KSA/KPA, Kawasan Konservasi Perairan, dan Areal Preservasi termasuk didalamnya Hutan Adat. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, namun jika dimaknai secara seksama, maka Hutan Adat [dianggap] sebagai bagian dari KSA/KPA, Konservasi Pesisir dan Areal Preservasi. Padahal Hutan Adat merupakan sebuah status ketimbang fungsi yakni sebagai Hutan Hak dengan alas hak kolektif dan tidak dibawah penguasaan negara.

 

Putusan MK 35/2012 dalam pertimbangan putusannya telah mengutip dan mempertegas Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 yang telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. MK menyatakan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. 

 

Oleh karena itu, MK menyebutkan dengan menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, MK akhirnya memutuskan “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

 

MK bahkan jauh lebih progresif dengan menerjemahkan frasa “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan, harus dimaknai lebih tegas, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. MK juga menegaskan terkait dengan frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat”, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui oleh konstitusi.

 

Pasal tentang hutan adat yang tidak implisit ini tentu memungkinkan beragam tafsiran yang dapat dipergunakan oleh pembaca undang-undang, pengaturan hutan adat juga menghilangkan semangat Putusan MK 35/2012 untuk melepaskan hutan adat dari domain hutan negara dan yang memberikan kedaulatan bagi masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya. Pengaturan Hutan Adat dalam UU KSAHE terlihat sebagai upaya untuk ‘menegaraisasi’ hutan hak yang sudah dilepaskan melalui Putusan MK 35. Apalagi jika mengingat bahwa selama ini masyarakat sipil mengalami kesulitan dalam melakukan usulan hutan adat di Kawasan Konservasi.

 

Kesimpulan

Areal Preservasi maupun Hutan Adat hanya sedikit dari sekian catatan kritis tentang materi muatan UU KSDAHE, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) misalnya, mencatat 8 poin krusial yang masih bermasalah dalam RUU KSDAHE versi juni yang kemudian disahkan pada Juli 2024, beberapa diantaranya seperti pasal mengenai jasa lingkungan di Kawasan Konservasi dan pemberat pidana bagi Individu yang tidak mendiferensiasi subjek secara jelas, sehingga memungkinkan adanya potensi kriminalisasi bagi masyarakat adat maupun lokal yang hidup didalam dan sekitar Kawasan Konservasi. Dengan demikian, dalam pandangan Masyarakat Sipil yang bekerja untuk isu HAM dan Hak Masyarakat Adat, UU KSDAHE belum mencerminkan semangat transformasi kebijakan dan paradigma konservasi yang lebih inklusif, berkeadilan dan ramah HAM. Pemerintah seharusnya dapat memitigasi catatan-catatan kritis dan berbagai masukan ini dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai peraturan teknis pelaksana UU KSDAHE yang akan diselesaikan selama 1 (satu) tahun mendatang.


Catatan Kaki:

1. Data BPS (2021) menunjukkan bahwa 36,7% dari 25.863 desa yang terletak di sekitar kawasan hutan berada dalam kategori miskin dan Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menyatakan 58% dari seluruh desa tertinggal di Indonesia berlokasi di sekitar kawasan hutan, termasuk di dalamnya adalah kawasan konservasi.

 

2. “A geographically defined area other than a Protected Area, which is governed and managed in ways that achieve positive and sustained long-term outcomes for the in situ conservation of biodiversity, with associated ecosystem functions and services and where applicable, cultural, spiritual, socio–economic, and other locally relevant values”

 

3.  1.) Terdapat keterkaitan yang erat dan mendalam antara suatu wilayah atau kawasan dengan masyarakat hukum adat atau komunitas lokal. Hubungan ini umumnya tertanam dalam sejarah, identitas sosial dan budaya, spiritualitas dan/atau ketergantungan masyarakat terhadap wilayah tersebut untuk kesejahteraan material dan non-material.

2.) Masyarakat atau komunitas penjaga membuat dan menegakkan keputusan dan aturan (misalnya akses dan penggunaan) mengenai wilayah, kawasan atau habitat spesies melalui lembaga tata kelola yang berfungsi.

3.) Keputusan tata kelola dan upaya pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat atau komunitas yang bersangkutan ‘berkontribusi’ terhadap konservasi alam (ekosistem, habitat, spesies, sumber daya alam), serta kesejahteraan masyarakat. see: iccaconsortium.org