Antara Kerangka Global dan Tantangan Nasional: IPLC Masih Tersisih sebagai Pelaku Konservasi

Blog Image  

 Admin    14-11-2024    00:00 WIB  

Oleh: Alaysha Yahya Maulina, Lasti Fardilla Noor


 

Masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities atau IPLC) adalah aktor kunci dalam pelestarian keanekaragaman hayati yang sering kali terabaikan peran dan kontribusinya. Meski mereka memiliki pengetahuan tradisional dan praktik berkelanjutan yang terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan ekosistem, posisi IPLC masih tersisih dalam kebijakan konservasi formal. Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) sebagai kerangka kerja keanekaragaman hayati global yang secara resmi diadopsi  pada pertemuan COP ke-15 Convention on Biological Diversity (CBD tahun 2022, mencoba mengubah realitas ini dengan menempatkan IPLC sebagai mitra strategis dalam konservasi global. 

 

Penegasan Peran IPLC dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF)

Conference of the Parties (COP) ke-16 yang baru saja berlangsung di Cali, Kolombia, pada 21 Oktober hingga 1 November 2024. COP ke-16 merupakan konferensi keanekaragaman hayati pertama sejak diadopsinya Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) pada tahun 2022. Pada konteks CBD, KM-GBF mencatat sejarah baru, menetapkan jalur yang jauh lebih ambisius untuk mencapai visi global tentang dunia yang hidup selaras dengan alam pada tahun 2050 melalui pendekatan yang transformatif. Kerangka kerja ini mencakup empat tujuan utama untuk tahun 2050 dan 23 target yang harus dicapai pada tahun 2030. 

 

Beberapa mandat penting yang tercantum dalam KM-GBF: pertama, adalah tujuan ambisius untuk menghentikan dan menanggulangi kehilangan keanekaragaman hayati pada tahun 2030 baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Mandat kedua yaitu upaya yang transformatif yang muncul sebagai respon terhadap kegagalan pencapaian Aichi Targets sebelumnya. Upaya pencapaian Aichi Targets terlalu banyak dibebankan kepada pemerintah, padahal pemerintah mempunyai begitu banyak keterbatasan, seperti proses birokrasi yang rumit dan keterbatasan anggaran. Bahkan terkadang terdapat praktek-praktek konservasi menyimpang yang justru berkontribusi pada berkurangnya keanekaragaman hayati. 

 

Dengan demikian KM-GBF memandatkan upaya yang lebih transformatif melalui pendekatan whole government and whole society agar upaya penanggulangan keanekaragaman hayati yang diambang kepunahan tidak hanya ditanggung oleh pemerintah saja, tetapi juga melibatkan peranan dari berbagai pihak lainnya termasuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Upaya transformatif ini juga mencakup pada pengakuan terhadap peran penting dan kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pelaku konservasi dan penjaga keanekaragaman hayati.

 

Mandat yang ketiga dari KM-GBF yaitu inklusivitas di mana dalam mencegah dan menanggulangi kehilangan keanekaragaman hayati, KM-GBF menekankan pendekatan berbasis HAM dan kontribusi dari seluruh elemen masyarakat yaitu pemuda, perempuan, LSM, masyarakat lokal, dan elemen-elemen lainnya. Implementasi KM-GBF harus memastikan bahwa hak, pengetahuan—termasuk pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati—inovasi, pandangan, nilai, dan praktik masyarakat adat serta komunitas lokal dihormati. Selain itu, pengetahuan tersebut harus didokumentasikan dan dilestarikan dengan persetujuan mereka secara bebas, didahulukan, dan diinformasikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi bagian integral dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati, dengan mempertahankan kontrol atas sumber daya dan pengetahuan mereka. 

 

Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework menjadi angin segar yang membawa perubahan bagi posisi tawar masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini kerap diabaikan peran dan kontribusinya. Mandat KM-GBF cukup jelas menegaskan bahwa masyarakat, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal, harus dilibatkan secara aktif dalam konservasi keanekaragaman hayati karena pada dasarnya mereka memiliki traditional knowledge dalam memanfaatkan sumberdaya alam di ruang hidup mereka secara lestari. Tata kelola yang telah dijalankan mereka selama puluhan bahkan ratusan tahun terbukti efektif dalam mempertahankan keanekaragaman hayati yang tersisa, seperti yang diungkapkan dalam berbagai laporan global. Salah satu contohnya yaitu laporan Direktur Jenderal IUCN pada tahun 2019 yang mengatakan bahwa 80% dari sisa keanekaragaman hayati di dunia berada di wilayah yang didiami oleh masyarakat adat. Selain itu, Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development of The Indigenous Peoples of Latin America and The Caribbean (FILAC) melaporkan bahwa masyarakat adat yang tinggal di wilayah Amerika Selatan dapat menjaga hutan dengan sangat baik, sehingga tingkat deforestasi yang terjadi di wilayah masyarakat adat tersebut lebih rendah 50% daripada di tempat lainnya. Penelitian di Bolivia, Kolombia, dan Brazil juga melaporkan bahwa laju deforestasi dan emisi karbon di wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat lebih kecil 73% daripada di wilayah yang dikelola oleh pihak lainnya. 

 

Dari 23 target KM-GBF, beberapa diantaranya berkaitan dengan masyarakat adat dan komunitas lokal yaitu praktik dan model konservasi oleh indigenous people and local community (IPLC), salah satunya adalah ICCA–Indigenous Peoples and Local Community Conserved Territories and Areas, atau model konservasi OECM–other effective area-based conservation measures. Target ini juga menekankan agar hak-hak IPLC diakui sebagai bagian dari kontribusi penting untuk mencapai keseluruhan target perlindungan 30% wilayah bumi yang meliputi daratan dan lautan pada tahun 2030. 

 

Namun, sayangnya, target ini seringkali disalahartikan oleh pemerintah sebagai perluasan dan penambahan jumlah kawasan konservasi. Padahal, dengan bertambahnya jumlah dan luas kawasan konservasi, peluang terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan semakin tinggi. Hal ini karena, sebagian besar penetapan kawasan konservasi dilakukan tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa  proses FPIC. Situasi ini diperumit dengan kebijakan yang belum secara penuh mengakomodir dimensi HAM dan belum berpihak pada masyarakat adat dan komunitas lokal.

 

Meskipun kerangka global telah memperkuat posisi tawar masyarakat adat dan komunitas lokal, namun situasi yang terjadi di tingkat nasional masih jauh dari harapan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menjadi cerminan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah masih “setengah hati” mengakui peran dan kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal. Kebijakan ini juga secara serampangan mencantumkan tentang wilayah Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) masuk ke dalam “Area Preservasi” yang hingga kini masih menyisakan ambiguitas dalam pengaturannya. 

 

Ambiguitas Areal Preservasi ini membuka ruang untuk penafsiran yang dapat berujung pada praktik pengambilalihan sumber daya alam dengan alasan konservasi atau perlindungan lingkungan, yang dikenal sebagai "green grabbing." Dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa “Jika pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE), maka hak atas tanah tersebut harus dilepaskan dengan kompensasi.” Beberapa pihak, diantaranya adalah WGII, menilai bahwa pasal ini berpotensi menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengambil alih wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal yang dianggap tidak melaksanakan kegiatan KSDAHE. 

 

Praktik green grabbing kerap merugikan masyarakat adat karena dapat mengakibatkan penggusuran, kehilangan tanah, hilangnya sumber penghidupan, serta memicu konflik baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam jangka panjang, dampak dari green grabbing mencakup hilangnya identitas budaya masyarakat adat, pengabaian terhadap hak asasi mereka, serta kerusakan hubungan kompleks antara manusia dan alam yang telah terbentuk selama berabad-abad.

 

Dalam peraturan tersebut, area preservasi digunakan untuk menyebut other effective area-based conservation measures (OECM) atau wilayah yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi namun berada di luar area kawasan konservasi, di mana daerah penyangga kawasan konservasi yang menjadi ruang hidup masyarakat termasuk dalam terminologi ini. Akan tetapi, interpretasi area preservasi terhadap OECM tidak begitu jelas. Hal ini disebabkan suatu wilayah bisa ditetapkan sebagai OECM karena adanya praktik konservasi yang dilakukan oleh non-state actors yang didasari oleh fungsi sosial, budaya, dan fungsi lokal lainnya, sehingga tidak harus berfungsi untuk pelestarian saja namun justru harus menekankan nila-nilai tradisional. Sedangkan istilah area preservasi berasal dari kata preserve atau pengawetan sehingga istilah ini kurang tepat untuk menyebut OECM karena akan mendegradasikan nilai lain seperti budaya, spiritual, dan pemanfaatan berkelanjutan oleh IPLC. 

 

Ketidakjelasan ini menunjukkan perlunya pemahaman dan regulasi yang lebih komprehensif agar pengakuan terhadap pengelolaan berbasis masyarakat adat tidak sekadar formalitas, tetapi didukung kebijakan yang implementatif dan menghargai serta menjamin hak-hak serta pengetahuan lokal mereka. Kebijakan ini juga hendaknya tidak mempersulit pengakuan IPLC beserta hak-haknya termasuk dalam pengelolaan ruang hidupnya.


 

Tulisan ini terinspirasi dan mengambil referensi dari diskusi yang berlangsung dalam webinar “Peace with Nature: Konservasi Berbasis HAM Masyarakat Adat untuk Perlindungan Ragam Hayati dan Ketahanan Iklim” (19/10/24) serta artikel berjudul “RUU KSDAHE Disahkan, Atur Areal Preservasi dan Hutan Adat: Bagaimana Isinya?” 

 

referensi lainnya:

https://iucn.org/news/secretariat/201908/iucn-director-generals-statement-international-day-worlds-indigenous-peoples-2019

PERANAN MASYARAKAT ADAT DALAM KONSERVASI LINGKUNGAN – Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM

https://www.cbd.int/history