Konservasi sebagai Akar Budaya Indonesia, Pentingnya Melibatkan Masyarakat Adat untuk Keberhasilan Implementasi IBSAP

Blog Image  

 Admin    10-12-2024    00:00 WIB  

Indonesia dikenal tidak hanya sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (megabiodiversity), tetapi juga sebagai negara dengan keanekaragaman budaya (mega-cultural). Kedua kekayaan ini saling terkait erat, dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun sebagai penghubungnya. Masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia telah lama mempraktikkan konservasi berbasis tradisi yang terbukti efektif dalam melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Praktik-praktik ini mendemonstrasikan pemanfaatan berkelanjutan yang mampu menopang keberlangsungan hidup masyarakat tanpa mengorbankan keseimbangan ekologis, yang dikenal dengan istilah customary sustainable use.

 

Praktik-praktik pengelolaan lingkungan berkelanjutan telah menjadi bagian dari identitas budaya Nusantara. Tradisi seperti sasi di Maluku, awig-awig di Bali, panglima laot di Aceh, tana ulen di Kalimantan, hingga tembawang di Kalimantan Barat mencerminkan kecerdasan ekologis masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam. Sistem-sistem ini tidak hanya menopang kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian target pelestarian nasional dan global.

 

Peluncuran dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) pada 8 Agustus 2024 menjadi tonggak penting dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. IBSAP adalah wujud komitmen Indonesia terhadap Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KMGBF), sebuah kerangka kerja global yang ambisius untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati. Namun, untuk memastikan dampaknya, implementasi IBSAP harus mengedepankan pendekatan berbasis hak yang inklusif dan partisipatif, dengan mengakui peran besar masyarakat adat dan komunitas lokal (IPLCs) dalam pelestarian keanekaragaman hayati.

 

Setelah peluncuran resmi IBSAP, WGII segera melakukan analisis cepat terhadap target-target yang tercantum di dalamnya. Analisis ini menemukan bahwa beberapa target secara langsung berkaitan dengan pengaturan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Setidaknya, WGII mengidentifikasi lima target utama yang relevan dalam hal ini, yaitu target 1, target 3, target 8, target 12, dan target 17. 

 

Meskipun IBSAP telah mencakup integrasi aspek masyarakat adat dan komunitas lokal dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan pengawasan yang ketat. Agar kontribusi masyarakat adat tidak sekadar diakui di atas kertas, namun juga diakui secara nyata, dibutuhkan komitmen untuk memastikan peran mereka sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan budaya bangsa. Melibatkan masyarakat adat secara aktif dalam setiap langkah implementasi IBSAP adalah kunci untuk mencapai tujuan konservasi yang berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai negara mega-biodiversity, tetapi juga sebagai negara mega-cultural biodiversity yang memperkaya warisan budaya dan ekologinya secara bersamaan.

#AN

 


Tulisan ini mengambil referensi dari:

  • Pemaparan Cindy Julianty pada launching IBSAP (https://www.youtube.com/watch?v=GG9jg5EEwd0&t=12446s)