20 Juni 2023, Working Group ICCA Indonesia (WGII) meluncurkan serial Policy brief Vol. 3 berjudul Keharusan Konservasi Berbasis Hak Asasi Manusia: Catatan atas RUU KSDAHE untuk Memastikan Terpenuhinya Hak Dasar Masyarakat dalam Penyelenggaran Konservasi. Policy brief ini membahas ragam masalah pemaknaan konservasi, relasi konservasi dengan kekuasaan, kebijakan dan agenda konservasi. Catatan penting yang diuraikan dalam policy brief ini adalah sebagai rekomendasi kepada pembuat kebijakan dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) yang saat ini masuk ke dalam Prolegnas dan sedang dalam masa pembahasan di Tingkat 1.
Meski substansi Rancangan Undang-Undang KSDAHE yang diusulkan DPR RI memiliki perubahan positif dibandingkan dengan UU KSDAHE No. 5 Tahun 1990, namum dinilai belum cukup kuat mengkerangkakan unsur dan dimensi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Diuraikan dalam policy brief ini, definisi konservasi sendiri masih menyimpan permasalahan. Paradigma konservasi lama yang dianut dalam UU 5/90 bersifat sangat scientific forestry yang hanya menitikberatkan pada “pelestarian untuk pelestarian itu sendiri”.
Dunia global melalui Konvensi Keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) telah menggeser paradigma konservasinya, tercermin dari Kerangka Kerja Kunming – Montreal terbaru, dimana untuk mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati diperlukan upaya transformatif melalui pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) sebagai aktor konservasi, pendekatan konservasi yang mengedepankan hak asasi dan inklusivitas, serta pembagian manfaat yang adil atas pelaksanaan konservasi. “Indonesia sebagai negara anggota CBD perlu menuangkan perjanjian internasional ini ke dalam implementasi kebijakan yang mendukung,” kata Cindy Julianty, Manager Program WGII.
Ia menegaskan, “RUU KSDAHE yang diproyeksikan mengganti UU No. 5 Tahun 1990, perlu menyusun ulang definisi konservasi yang di dalamnya melekat dimensi sosial-ekonomi, prinsip HAM, dan kelestarian ekologi secara bersamaan, dan paradigma baru ini selayaknya menjadi ‘ruh’ bagi seluruh kebijakan dan pengelolaan Kawasan Konservasi nasional.”
Warisan paradigma scientific forestry yang menganggap ‘hutan sebagai wilayah bebas manusia’ juga menjadi hulu masalah atas konflik laten di Kawasan Konservasi dan kriminalisasi. “Area yang saat ini ditetapkan sebagai Kawasan konservasi, baik hutan dan pesisir, bukan ruang kosong melainkan wilayah masyarakat adat dan lokal yang dikelola secara turun - temurun,” jelas Kasmita Widodo, Koordinator WGII. Ia menambahkan, “ini tidak hanya sekedar wilayah tetapi menjadi ruang hidup mereka dimana sedikitnya seluas 4,1 juta hektar wilayah adat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi dan sedikitnya ada 16,3 juta jiwa yang tinggal di 6.747 Desa di sekitar Kawasan Hutan termasuk Kawasan Konservasi”.
“Padahal dalam banyak kasus, ancaman sesungguhnya dari konservasi keanekaragaman hayati adalah ekspansi bisnis, sindikat dan mafia perdagangan satwa dan tumbuhan liar, serta proyek-proyek konservasi berwatak developmentalistik yang mengabaikan relasi manusia dengan alam” kata Cindy Julianty.
#AN
Serial Policy Brief RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya lainnya: