Johor (16 November 2023) Pekan Iklim Asia Pasific berlangsung selama 5 hari dari tanggal 13 hingga 17 November 2023, diselenggarakan oleh UNFCCC dengan pemerintah negara bagian Johor sebagai tuan rumah penyelenggaranya. Konferensi ini melibatkan para pemangku kepentingan, pakar, dan pembuat kebijakan dari seluruh negara di Asia Pasific untuk menampilkan solusi dan inovasi, serta mendorong peningkatan kerja sama lintas batas negara dan sektor-sektor dalam mengatasi tantangan iklim yang mendesak.
Mengambil kesempatan ini, berbagai pihak yang yang fokus terhadap isu keadilan sosial dan HAM serta kelompok masyarakat adat kembali mengingatkan komitmen parties untuk memperlakukan masyarakat adat sebagai “mitra utama” dalam dialog perubahan iklim, bukan sekedar penerima manfaat.
The International Indigenous Peoples Forum on Climate Change (IIPFCC) yang mewakili masyarakat adat pada Pekan Iklim Asia Pasifik 2023 di Johor Bahru, Malaysia, menyatakan bahwa, "semua keputusan dan tindakan iklim harus mempertimbangkan prioritas dan kebutuhan masyarakat adat, memberikan penekanan khusus pada pengalaman perempuan adat, pemuda dan anak-anak adat, penyandang disabilitas, dan kerabat kita yang beragam gender."
“Kontribusi pengetahuan tradisional kita dalam adaptasi, mitigasi, dan bahkan dalam merespons Lost and Damage harus diakui dan didukung,” tambah organisasi tersebut.
Minnie Degawan sebagai salah satu pembicara di salah satu side event APCW 2023 menjelaskan bahwa menempatkan masyarakat adat sebagai mitra utama dapat diukur dari seberapa serius proses FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) diimplementasikan.
“FPIC adalah investasi proses sosial, jadi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat apalagi satu kali kunjungan. Untuk membuat keputusan yang tepat masyarakat harus mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh tentang perubahan iklim dan karbon, sehingga proses FPIC memerlukan waktu,” ucap Minnie.
Masyarakat adat dan kelompok marginal lainnya seringkali terpinggirkan dalam proses-proses diskusi dan pengambilan keputusan, padahal mereka pihak yang menderita dan merasakan dampak langsung dari perubahan iklim yang terjadi saat ini, meskipun mereka bukanlah pihak yang secara signifikan menyumbang emisi.
Berbagai laporan global justru menyajikan bukti empiris yang semakin mengukuhkan bahwa masyarakat adat merupakan garda terdepan dalam melindungi hutan alami yang tersisa. Berdasarkan laporan Right Resources Initiatives (2022), masyarakat adat dan komunitas lokal menjaga sepertiga hutan alami yang tersisa dan melindungi 80% keanekaragaman hayati dunia. Padahal masyarakat adat di dunia hanya berkisar 5-6% dari total populasi dunia. Laporan yang dirilis ICCA Consortium Tahun 2021 menyajikan data estimasi bahwa 21% dari daratan dunia merupakan wilayah yang dikelola dan dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal atau diistilahkan sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) dan 22% dari potensi ICCAs tersebut merupakan Key Biodiversity Areas.
Suara Masyarakat Adat, Perempuan dan Pemuda
Maria Mono Soge (Shindy Soge), sebagai perwakilan organisasi pemuda akar rumput dari koalisi Pangan Bijak, menyampaikan pengalamannya dalam membangun inisiatif WeTan HLR (Hewa Lewo Rotan) sebagai respon pemuda dalam menghadapi perubahan iklim di sesi diskusi Official Session Track 4: Voices for Climate Action: Championing effective, inclusive, and equitable community-based solutions.
“kami (pemuda) di kampung mengupayakan pangan lokal dan mengkonservasi sumber air,” jelas Shindy Soge. Ia melihat bahwa meskipun masyarakat adat, petani, dan nelayan merupakan garda terdepan dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, namun pelibatan mereka dalam forum-forum yang membicarakan tentang perubahan iklim masih minim. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya akses terhadap peluang, hambatan bahasa, dan kesenjangan informasi.
The International Indigenous Peoples Forum on Climate Change (IIPFCC) kurang lebih menekankan hal serupa dengan yang disampaikan oleh Shindy Soge. Menurut organisasi tersebut, masyarakat adat di Asia terus menghadapi kelemahan sistemik dalam memajukan advokasi mereka di konferensi internasional seperti APCW 2023.
Pengalaman riil masyarakat di tingkat tapak dalam memerangi dampak nyata perubahan iklim seharusnya menjadi dasar pertimbangan para pengambil kebijakan dalam memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi. Asami Segundo, perempuan adat dari Ikalahan-Kalanguya, Filipina menegaskan, “mendengarkan masyarakat adat di forum ini (APCW 2023) sangatlah penting karena apa pun yang terjadi di sini juga akan berdampak pada mereka yang berada di lapangan,”