Kearifan Lokal Diakui Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dan Pengampunya Dilindungi Oleh Permen LHK No. 34 Tahun 2017

 Admin    Selasa, 06 Pebruari 2024  
Blog Image

[Jakarta, 5 Februari 2024] Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) bekerjasama dengan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan FISIP Departemen Antropologi UI selenggarakan webinar Berandao mengangkat tema “Menyigi implementasi pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemajuan hak berbudaya di Indonesia.”


Gambar: Webinar Berandao: “Menyigi implementasi pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemajuan hak berbudaya di Indonesia.” bertempat di FISIP Departemen Antropologi UI

Aria Sakti Handoko dari BRWA, selaku moderator diskusi, membuka webinar dengan menegaskan bahwa Kearifan lokal adalah salah satu unsur pembentuk identitas Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Kearifan lokal saat ini juga dipandang sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi berbagai krisis lingkungan hidup baik krisis keanekaragaman hayati maupun perubahan iklim. Setidaknya ada dua Kementerian yang menerbitkan regulasi tentang kearifan lokal, yaitu Kementerian LHK dan Kementerian Dikbud Ristek.

 

Menjadi representasi dari Kemendikbud Ristek, Sjamsul Hadi, selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, menjelaskan bahwa dalam konteks kebudayaan, kearifan lokal merupakan domain yang diatur dalam Permen Pendidikan dan Kebudayaan No. 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Kebijakan ini mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of intangible cultural heritage.


Gambar: Alur pencatatan dan penetapan warisan budaya oleh Kemendikbud Ristek (Sumber gambar https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/)

 

Sjamsul Hadi juga paparkan bahwa direktoratnya memiliki beberapa program prioritas berkaitan dengan pendataan kearifan lokal sebagai Warisan Budaya Tak Benda, bahkan hampir tiap tahun Kemendikbud Ristek telah menetapkan Warisan Budaya Tak Benda yang dapat dilihat pada laman https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/

 

“salah satunya adalah program Wana Budaya di 29 titik hutan adat di Jambi, dimana kami bersama KLHK mendorong keberlanjutan praktik kearifan lokal di dalam pengelolaan hutan adat yang sudah ditetapkan. Bersama masyarakat, kami mengidentifikasi potensi kekayaan biodiversitas dan pengelolaan pemanfaatannya oleh masyarakat. Ini membantu masyarakat dalam penyusunan roadmap yang jelas pasca penetapan hutan adat.” Ia menambahkan, “kami juga membangun kerjasama dengan Bu Devi (PEREMPUAN AMAN) dalam rangka mendorong potensi perempuan adat sebagai garda depan untuk menjaga sistem pewarisan”

 

Yuli Prasetyo dari Direktorat PKTHA-PSKL Kementerian LHK melihat bahwa hutan adat di Jambi dikelola dengan baik oleh masyarakat, bahkan mungkin jauh lebih baik dari hutan yang dikelola oleh perusahaan, “Tentu saja semangat proteksinya itu karena ada kearifan lokal. Jadi, ada hal-hal yang ingin mereka jaga terkait sumber daya genetik, sumber daya air, dan lain-lain.”

 

“Proses adaptasi masyarakat dengan alam tentu saja melahirkan kearifan lokal, pengetahuan lokal, teknologi tradisional, dll. Itu yang kemudian kami (KLHK) atur ke dalam Permen 34,” terang Yuli Prasetyo.

 

Ia memaparkan bahwa maksud dan tujuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah perlindungan hukum terhadap pengampu dan pengakses kearifan lokal. Juga jaminan pembagian keuntungan yang adil bagi pengampu atas pemanfaatan kearifan lokal mereka oleh pihak lain.

 

“Pengakses adalah pihak luar yang memanfaatkan pengetahuan tradisional yang diampu oleh masyarakat adat atau komunitas lokal. Jadi (diatur) bagaimana benefit sharing-nya, khususnya nanti terkait dengan industri farmasi, kuliner dan sebagainya, dimana selama ini masyarakat adat selalu ditinggalkan (tidak mendapat keuntungan).” Pengetahuan Tradisional juga telah diatur melalui Peraturan Pemerintah RI No. 56 tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal.

 

 

Pendataan Kearifan Lokal sebagai Warisan Budaya Tak Benda belum Terpilah Secara Gender

Hadir dalam webinar tersebut Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, memberikan gambaran bahwa perempuan adalah subjek pelestari kearifan lokal dan pengetahuan tradisional, namun tantangannya adalah seringkali keberadaan mereka diabaikan.

 

 “Meskipun sudah ada pendataan, namun tidak secara khusus terpilah gender. Belum ada data terpilah tentang berapa banyak perempuan yang masih mempraktikkan pengetahuan tradisional, kemudian pengetahuan tradisional yang seperti apa, dan seterusnya,” respon Devi Anggraini.
 

“Ketika berbicara soal valuasi misalnya, yang menjadi pembicaraan adalah keberhasilan berapa banyak produk (jamu herbal buatan masyarakat) yang diekspor. Subjeknya (perempuan adat yang menghasilkan jamu herbal tersebut) hilang kemudian, perempuan adat tidak pernah muncul. Oleh karena itu, PEREMPUAN AMAN bekerja keras untuk bisa memunculkan keberadaan dan suara-suara perempuan adat di dalam proses-proses ini,” Devi Anggraeni menyebutkan hal tersebut sebagai salah satu tantangan bagi perempuan adat.

 

 

Kebijakan Terkait Kearifan Lokal Tidak Terkoneksi dengan Jaminan Tenurial

Cindy Julianty, Manajer Program dari Working Group ICCAs Indonesia menyoroti soal kebijakan nasional yang sifatnya sangat sektoral dimana urusan mengenai kearifan lokal tidak serta merta terhubung dengan urusan tenurial, “Ada Permen LHK tentang kearifan lokal, kemudian Permen LHK tentang kekayaan komunal, lalu instrumen (kebijakan) lain tentang Warisan Budaya Tak Benda, semua kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan tenurial. Jika akses terhadap kearifan lokalnya saja yang diurus, tetapi pengamanan wilayahnya tidak diurus, maka sama saja. Dan seperti kita ketahui, pengakuan masyarakat adat di Indonesia ada kebijakannya sendiri dan itu prosedurnya rumit sekali”

#AN

 


Catatan Editor:

Webinar Berandao digagas oleh BRWA bersama WGII yang difungsikan sebagai wadah untuk berdialog dan berdiskusi mengenai isu seputar masyarakat adat dan komunitas lokal serta berbagai permasalahan yang melingkupinya. Istilah Berandao  terinspirasi dari masyarakat adat Dayak Iban. Dalam kebudayaan mereka, Berandao adalah musyawarah adat untuk mendiskusikan, mengambil keputusan, sampai menegakkan peradilan adat melalui tradisi dan kebiasaan setempat.