Pelatihan Konservasi Berbasis Hak dan Berperspektif Gender: Upaya Melindungi Alam dan Mempertahankan Hak Masyarakat Adat/Lokal

 Admin    Sabtu, 09 Maret 2024  
Blog Image

[Yogyakarta] Sekretariat Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama anggotanya, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), mengikuti pelatihan Advokasi Konservasi Inklusif Berbasis Hak dan Berprespektif Gender yang diadakan oleh WWF Indonesia berkolaborasi dengan Epistema Institute selama 6 hari dari tanggal 26 Februari – 2 Maret 2024 bertempat di Hotel Innside by Melia, Yogyakarta. Pelatihan yang dihadiri oleh lebih dari 30 peserta ini adalah upaya yang dirancang WWF Indonesia untuk meningkatkan kapasitas baik staff WWF Indonesia maupun mitra yang menjadi pelaksana program Leading the Change (LtC).

 

Dalam sambutannya, Dewi Rizki yang merupakan Chief Conservation Officer dari WWF Indonesia menegaskan bahwa ”pelatihan ini merupakan bekal bagi mitra LtC atau orang-orang yang berperan dalam advokasi masyarakat adat/lokal. Melalui advokasi berbasis HAM, kita berupaya mewujudkan konstitusi hak-hak manusia agar tidak salah arah. Harapannya, kita mampu melakukan advokasi yang berlandaskan pada sensitivitas konflik dan berprespektif gender, agar masyarakat yang kita dampingi mendapatkan haknya secara konstitusional”.

 

Melalui Leading the Change, WWF Indonesia bersama mitranya berupaya untuk mendorong pengakuan terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pelaku konservasi dan mewujudkan hak pemanfaatan yang berkeadilan terhadap ruang hidup mereka. Sebab, faktanya, hutan dan perairan yang masih lestari justru berada dalam penjagaan dan pengelolaan masyarakat adat dan komunitas lokal. Sementara keberadaan mereka kerap diabaikan oleh negara tercermin dari lemahnya pengakuan negara dan kebijakan-kebijakan negara yang justru mengekslusi mereka dari ruang hidupnya.


Pelatihan Hari Pertama dan Kedua: Pendekatan Berbasis HAM dan Perspektif Gender

 

Sebagai pengantar, Andik Haryanto, Policy and Governance Specialist dari WWF Indonesia, mematik peserta dengan pertanyaan ”Apa hubungannya HAM dengan Konservasi?” Ia kemudian menggambarkan bahwa hak asasi manusia (HAM) dan konservasi memiliki interkoneksi.

 

”Ketidakadilan akses menyebabkan pengelolaan sumber daya alam terganggu, begitupun sebaliknya, dan ini memicu terjadinya konflik, sehingga dibutuhkan pendekatan berbasis hak dalam pengelolaan sumber daya alam yang disebut Human Rights Based Approach (HRBA).” Menurutnya, prinsip non-diskriminatif dan pengupayaan pemenuhan hak dasar right holders secara sempurna adalah corak dari pendekatan berbasis hak.

 

Selanjutnya, Budi Wahyuni, Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus aktivis pembela keadilan gender, memaparkan materi tentang ”Gender: Keadilan Sosial.” Budi Wahyuni menjelaskan bahwa sex (jenis kelamin) dan gender adalah dua konsep yang berbeda, sex bersifat ‘kodrati’ yang tak dapat diubah, sementara gender adalah peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial yang dapat diubah atau dipertukarkan. Menurutnya, konstruksi sosial yang sangat patriarki telah melahirkan ketimpangan gender dan ini sering terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam.

 

”Aktivitas lingkungan hidup seperti pengelolaan hutan seolah menjadi hak kaum laki-laki, perempuan hanya berperan sebagai ’pelengkap’, hal ini berdampak pada rendahnya penghasilan perempuan. Oleh sebab itu, dalam pendampingan masyarakat perlu menerapkan pendekatan berbasis GEDSI (Gender, Equity, Disability, and Social Inclusion) untuk memastikan setiap orang diperlakukan secara adil,” tegasnya.

 

Pada dasarnya, perlakuan yang adil tanpa diskriminasi dan kesetaraan hak adalah prinsip-prinsip HAM. Pemahaman mengenai prinsip HAM dan pendayagunaan hukum HAM ini penting dimiliki oleh mitra LtC untuk advokasi hak konstitusional masyarakat adat dan komunitas lokal atas lingkungan hidup. Secara khusus materi ini disampaikan oleh Herlambang P. Waratraman, Dosen Fakultas Hukum UGM.

 

Melengkapi sesi pelatihan hari pertama, Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum UGM, memaparkan tentang sejarah gerakan pengakuan masyarakat adat. Ia juga membedah akar permasalahan dari diskriminasi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam relasinya dengan hak atas tanah.

 

“Sistem penguasaan hutan saat ini masih mengadopsi konsep domein verklaring ‘ala’ Belanda yang menyebutkan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikkan legalitasnya adalah tanah negara, aturan ini semakin mempermudah penyerobotan lahan milik masyarakat adat.“ Ia menambahkan, “dalam mengidentifikasi masyarakat adat, jangan hanya melihat dari aspek kesamaan bahasa atau instrumen-instrumen adat, tetapi dari hubungan mereka dengan tanah.”

 

Dalam akhir sesi diskusi, Ratna Dewi, National Project Coordinator LtC memberikan closing statement bahwa “masyarakat adat adalah pelaku konservasi terbaik, sehingga harapannya kita bisa memperjuangkan rekognisi atas ruang hidupnya, untuk mendukung kemandirian hidunya”.


Pelatihan hari ketiga: Peserta Pelatihan Kunjungi Kalibiru, Pengelolaan Wisata Alam Berbasis Masyarakat

 

Rabu, 28 Februari 2024, peserta pelatihan melakukan kunjungan ke Dusun Kalibiru, Kelurahan Hargowilis, Kabupaten Kulonprogo untuk melakukan diskusi dan bertukar pengalaman. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan legalistas pengelolaan hutan Kalibiru cukup berliku. Tahun 2003, Bupati Kulon Progo akhirnya memberikan izin sementara pengelolaan hutan kepada masyarakat. Saat itu statusnya adalah hutan produksi, namun setelah izin HKm secara resmi diterbitkan oleh Menteri LHK pada tahu 2007, status hutan tersebut telah berubah fungsi menjadi hutan lindung.

 

Baca juga: Dinamika Usaha Kelompok Tani Hutan Mandiri Kalibiru

 

”Kami kecewa karena status hutan yang kami kelola berubah dari hutan produksi menjadi hutan lindung, padahal kami mencari bibit sendiri, harapannya bisa panen kayu, tetapi saat akan panen, status hutan kami berubah menjadi hutan lindung. Ya kita harus patuh karena ini keputusan pemerintah, di balik ini semua pasti akan ada hikmahnya” cerita Pak Sadali, ketua KTH HKm Mandiri dalam presentasinya. Masyarakat kemudian mencari cara untuk membangun wisata alam. Tahun 2010, ekowisata yang dikembangkan mulai banyak pengunjung, puncaknya pada tahun 2016 jumlah pengunjung mencapai 443.070 orang. Namun, dampak pandemi covid-19 menyebabkan turunnya jumlah pengunjung, dan hingga saat ini tidak terjadi peningkatan lagi.

 

Gambar: Peserta pelatihan kunjungi wisata Kalibiru, Kulon Progo, Yogjakarta


Pelatihan hari keempat dan kelima: penanganan konflik SDA dan pentingnya Pendampingan Hukum Rakyat

 

Pelatihan sesi pertama dengan topik ”Konsep Dasar Penanganan Konflik Sumber Daya Alam” diisi oleh Ahmad Zazali, Ketua dari AZ – Law & Conflict Resolution. Dalam presentasinya, Ahmad Zazali menyebutkan mengapa konflik sering terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam.

 

”Dalam pengelolaan sumber daya alam terdapat relasi yang rumit dan tidak setara antar aktor. Selain itu, sifat sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui rentan mengalami kelangkaan, sementara jumlah permintaan semakin banyak dan distribusinya tidak merata”.

 

Ahmad Zazali juga melanjutkan, terdapat dua cara penanganan konflik, yaitu melalui saluran formal atau jalur hukum dan saluran informal misalnya melalui negosiasi, fasilitasi, mediasi, tim pencari fakta, advokasi, dan arbitrase. Dalam sesi diskusi, peserta pelatihan dibagi menjadi beberapa kelompok untuk menganalisis konflik dari sebuah kasus, yakni terkait sejarah konflik, aktor yang terlibat, dasar klaim aktor, isu yang berkembang, hingga mekanisme penyelesaian konflik.

 

Pelatihan hari kelima diisi dengan sharing session oleh Rais, Supervisor Pengetahuan Hukum Rakyat dari HuMa. Ia membuka presentasinya dengan menjelaskan pentingnya Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dalam kerja-kerja advokasi, yaitu untuk mendampingi masyarakat saat bermasalah dengan hukum. Dalam pendampingan masyarakat dibutuhkan sekolah lapang untuk membangun kesadaran kritis.  


Pelatihan hari keenam: Penyempurnaan Rencana Aksi

 

Pelatihan hari terakhir diisi dengan diskusi penyempurnaan work plan masing-masing mitra LtC. Bekal pengetahuan dan pengalaman selama lima hari pelatihan dituangkan oleh masing-masing mitra ke dalam rencana kerja sehingga dalam pelaksanaan LtC nantinya, baik secara teknis maupun prinsip, masing-masing mitra mengedepankan HRBA, GEDSI, dan sensitivitas konflik dalam mewujudkan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal  yang telah berkontribusi besar bagi kelestarian alam dan lingkungan.

Gambar: Diskusi kelompok


 

#Risda&Asti