Bappenas Diskusikan Perumusan Kelembagaan IBSAP di Indonesia

 Admin    19-03-2024    00:00 WIB  

Blog Image

Jumat, 15 Maret 2024, bertempat di Hotel Novotel-Bogor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengundang Working Group ICCAs Indonesia dan Yayasan Konservasi Indonesia sebagai perwakilan masyarakat sipil, pihak swasta, dan Kementerian / Lembaga (K/L) untuk mendapatkan masukkan terhadap rumusan Kerangka Kelembagaan Indonesia Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP).

 

“Saat ini Bappenas mengupayakan adanya pengukuran Indeks Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (IPK) dalam RPJPN 2025 – 2024 dan RPJMN 2025 – 2029, dengan atau tanpa adanya IBSAP, pengelolaan keanekaragaman hayati tetap diarahkan untuk terus berjalan, baik di terestrial maupun di laut” ucap Priyanto Rohmatullah, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas dalam sambutan pembukaan.

 

Krisis iklim dan meningkatnya laju kehilangan keanekaragaman hayati mengharuskan para pihak untuk memikirkan dengan serius upaya pemulihan. Peran negara yang terpusat sudah tidak lagi relevan dengan tantangan dan kondisi hari ini, apalagi untuk mengejar capaian target ambisius dari Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).

 

“Perlu ada orkestrasi dari seluruh pihak dan menentukan siapa yang akan me-lead,” ucap Priyanto.

 

Menurut Desy Satya Dewi dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman – KLHK, jika nantinya akan ada kelembagaan IBSAP maka harus jelas, “sebab Menteri LHK telah menerbitkan Kepmen LHK no 140 Tahun 2024 tentang Kelompok Kerja Balai Kliring Keanekaragaman Hayati, Keamanan Hayati, dan Akses & Pembagian Keuntungan Atas Manfaat Sumberdaya Genetik. Pokja tersebut berperan untuk  melakukan proses monitoring IBSAP termasuk protokol Nagoya, dan Cartagena, serta memfasilitasi pertukaran data dan informasi antar K/L, kerjasama ilmiah, dan pelibatan atau partisipasi publik.”

 

Terkait perumusan kelembagaan IBSAP, Ia menyoroti 3 hal, “pertama, kelembagaan yang dibayangkan fungsinya akan seperti apa? Apakah yang tercantum dalam SK MenLHK 140/2024 sudah cukup atau perlu ditambah kelompok kerja lainnya? Kedua, apakah fungsinya akan sebagai pelaksana, koordinasi, atau monitoring dan evaluasi, atau bahkan ketiganya? Ketiga, siapa yang akan menjadi Focal Point untuk IBSAP ini?”

 

Joeni Setijo Rahajoe dari BRIN menanggapi bahwa pada IBSAP 2015-2020 telah ada rancangan awal Balai Kliring Kehati yang di dalamnya terdapat simpul-simpul untuk mengaomodir para pihak. Semua simpul tersebut akan terkoneksi ke KLHK sebagai pusat dari Balai kliring sekaligus National Focal Point (NFP) yang akan melaporkan capaian IBSAP di tingkat global.

 

Gambar: Pemikiran awal Balai Kliring Keanekaragaman Hayati


Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan Yayasan Konservasi Indonesia (YKI), menyampaikan pentingnya mengikutsertakan  masyarakat dan LSM di dalam Kelembagaan IBSAP. Cindy Julianty selaku Program Manager WGII mengatakan, “KM-GBF menurut kami adalah pendekatan yang transformatif, berbeda dengan Aichi Target. Jadi, ada (prinsip) whole government & whole society yang menekankan pentingnya pelibatan non-state actor (masyarakat, NGO, dan private sector) termasuk aspek inklusif yang harus menjadi pertimbangan dalam implementasi IBSAP.”

 

Ia menambahkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal sudah secara sukarela berkontribusi terhadap perlindungan keanekaragaman hayati sejak lama, melalui praktik tata kelola wilayah dan pengelolaan kehati berdasarkan pengetahuan tradisional mereka. “jadi sebenarnya wilayah yang dikelola secara tradisional bisa terhitung. Instrumen tentang kearifan lokal juga sudah banyak, dan implementasi (kebijakan) ini bisa mencapai atau mendukung target KM-GBF.”

 

Gambar: Cindy Julianty (Program Manager WGII) sampaikan masukkan untuk Kerangka Kelembagaan IBSAP


 

Adi Pradana, Senior Policy Director YKI memaparkan bahwa melalui kerangka kelembagaan, NGO dapat berperan dan berkontribusi untuk merealisasikan target dan tujuan IBSAP. Ia mencontohkan,  “kami mendorong satu model surf conservation dan ini bisa berkontribusi untuk OECM.” Namun, Ia menyoroti bahwa belum ada standar acuan dan mekanisme untuk melaporkan kontribusi non-state actor kepada National Focal Point atau Conventon on Biological Diversity (CBD). “Memastikan monitoring atau report yang kami sampaikan ke Pemda juga bisa tersampaikan ke NFP atau bahkan hingga ke CBD adalah hal yang perlu dipikirkan, karena ini sangat penting untuk menghitung kontribusi.”  

 

Mewakili private sector, Jaka Fernando dari PT. Astra International, mengatakan bahwa mereka membutuhkan panduan dalam menginternalisasi IBSAP. Ia juga menambahkan beberapa rekomendasi, “pertama, perlu memetakan secara strategis peran para pihak. Kedua mensinergiskan antara apa yang dituju oleh pemerintah dengan tujuan swasta, sebab masing-masing punya kepentingan dan pemerintah berperan sebagai jembatannya, ketiga perlu ada platform terkait data biodiversity dan integrasi data dari para pihak. Keempat, feedback system atau reward. Kelima, karena ini long term (20 tahun) maka diperlukan stepping stone yang jelas yang dapat menjadi acuan."

 

Terkait kelembagaan IBSAP, Tri Santoso dari Kantor Staf Presiden memberikan masukkan, “perlu kelembagaan yang agak agile dan terekognisi serta punya aturan main yang dinamis.” Ia juga mengingatkan bahwa pengelolaan kehati termasuk knowledge management yang nantinya akan dibangun jangan sampai meminggirkan masyarakat adat. Akhir dari diskusi, disepakati bahwa kelembagaan yang inklusif dengan melibatkan pihak lain selain negara adalah urgent. Selain itu, dibutuhkan platform serta guideline yang dapat digunakan oleh para pihak untuk dapat melaporkan, monitoring, dan evaluasi IBSAP di Indonesia.

#AN

 

Catatan Editor:

Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan merupakan dokumen strategi dan rencana aksi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia yang mengacu pada tujuan dan target global dalam Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-BGF). Jangka waktu implementasi IBSAP akan disesuaikan dengan RPJPN, yaitu 2025 - 2045 dengan peninjauan ulang setiap 5 tahun sekali.