Makassar – Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan Jaring Nusa menggelar Kick off Meeting Program Marine Tenure Initiative yang berlangsung pada Sabtu (27/04/2024).
Kegiatan ini dihadiri oleh lembaga implementor program yakni PD AMAN Lease, LMMA Indonesia, LPSDN, Blue Forest, dan Japesda. Selain itu turut dihadiri lembaga anggota Jaring Nusa yakni WALHI Sulawesi Selatan dan Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA dalam sambutannya menjelaskan bahwa Program Marine Tenure Initiative merupakan upaya kolektif untuk mendorong kepastian dan jaminan tenurial di pesisir dan pulau kecil. Menurutnya, selama ini fokus isu tenure security masih didominasi wilayah daratan.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA sekaligus Koordinator WGII, memberikan pengarahan dalam pembukaan kick of meeting Marine Tenure Inititive.
“Saya menyadari kita masih bias darat. Semoga dengan proses ini, pengalaman pengakuan di terestrial dapat menjadi pembelajaran untuk memperkuat basis data di wilayah pesisir”
Berbeda dengan konteks di darat, rezim pengelolaan pesisir di Indonesia belum sepenuhnya mengakui perspektif tenurial laut dan cenderung lebih mengedepankan pendekatan pengelolaan dan pemanfaatan laut sebagai open access areas melalui skema perizinan. Hal ini semakin menyulitkan masyarakat dalam melakukan pengelolaan dan pengambilan keputusan atas ruang hidupnya.
Jangka panjangnya akan berdampak terhadap massive-nya kegiatan destruktif yang dapat menurunkan fungsi ekosistem pesisir dan laut. Sebagai contoh, hingga November 2021, WALHI mencatat terdapat 2.919.870,93 Ha wilayah pesisir yang dikuasai 1.405 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan di laut 687.999 Ha dan 324 IUP.
“Dua tahun terakhir kita berupaya bagaimana wilayah pesisir dan pulau kecil datanya muncul, sehingga kita bisa mengkalkulasi berapa wilayah yang dikelola masyarakat. Dan bagaimana situasi tenurialnya serta sustainable tenure-nya,” jelas Kasmita Widodo. Menurutnya ketersediaan dan visibilitas data wilayah adat dan ruang kelola masyarakat di pesisir dan pulau kecil menjadi kekuatan untuk mendorong pengakuan masyarakat pesisir beserta hak-haknya.
Berdasarkan data registrasi Wilayah Adat di BRWA, saat ini sekitar 5,6 juta hektar wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau telah terdaftar dari total 25,1 juta hektar registrasi wilayah adat.
Dari luas wilayah yang terdaftar tersebut, hanya 562.320 hektar yang mencakup 11 komunitas yang telah diakui melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah di wilayah pesisir dan laut.
“Lewat proses (program MTI) ini BRWA, WGII dan Jaring Nusa akan memfasilitasi yang sudah dikerjakan. Jadi bukan inisiatif yang berangkat dari ‘nol’. Bagaimana proyek ini mampu memproyeksikan agenda bersama,” jelasnya.
Memperkuat Hak Tenurial
Trini Pratiwi, Technical Team Asia Community Relation Advisor Marine Tenure Initiative menjelaskan bahwa Marine Tenure Initiative merupakan fasilitas pendanaan yang ditujukan untuk membantu proses kerja-kerja di tingkat tapak dan membuat lebih banyak best practice dalam konteks upaya untuk mendorong pengakuan tenurial di ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Trini Pratiwi menjelaskan tentang Marine Tenure Initiative dan roadmap MTI
Lebih lanjut, Trini menjelaskan bahwa program Marine Tenure Initiative di Indonesia akan diuji coba perdana selama 1,5 tahun dan pada fase ini BRWA bersama WGII merupakan salah satu dari dua mitra MTI di Indonesia. MTI berkomitmen untuk melanjutkan program tersebut dengan melibatkan lebih banyak mitra NGO serta komunitas nantinya.
“Pilot project ini harapannya akan membantu kami untuk terus memperbaiki mekanisme pendanaan. Kami terus memberikan kesempatan terbuka untuk ide-ide yang masuk,” ujarnya.
Asmar Exwar, dinamisator Jaring Nusa mengungkapkan bahwa inisiatif ini sangat baik untuk mendukung reforma agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil, dimana akan mengedepankan aspek tenure security di dalamnya yang melingkupi wilayah pesisir termasuk ruang laut.
“Inisiatif-inisiatif yang telah dijalankan oleh CSO selama ini bersama komunitas perlu ditingkatkan sehingga kedepan dapat melahirkan skema-skema perlindungan dan pengakuan masyarakat adat maupun wilayah kelola masyarakat di pesisir, laut dan pulau kecil,” ujarnya.
Sementara itu Cindy Julianty, dari sekretariat WGII menjelaskan jika tujuan dari Marine Tenure Initiative ini akan memperkuat hak tenurial, tata kelola dan pengetahuan tradisional.
“Kita mencoba untuk mensinergikan agenda-agenda di daerah untuk menghasilkan kebijakan terkait isu pesisir, laut dan pulau kecil yang bisa didayagunakan,” ujarnya.
Ia juga menekankan kerja advokasi yang dikerjakan di wilayah dampingan mampu melindungi wilayahnya dan dapat mengelola secara arif dan berkelanjutan.
“Yang perlu diperhatikan dari kerja advokasinya adalah apakah skema itu dapat menghalau proses-proses perampasan tanah, pengalihan fungsi lahan untuk tujuan komersil, untuk kepentingan lain yang menyebabkan hilangnya hak tenurial masyarakat dan menurunkan fungsi lahan masyarakat,” jelasnya.
WGII telah mendaftarkan 120 Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM atau ICCA) dengan luas total 467.667 hektar (iccas.or.id), dengan potensi perkiraan ICCA mencapai 4,2 juta hektar. Praktik ini dilakukan untuk menjamin keberlanjutan ekosistem dan ketahanan pangan bagi masyarakat adat itu sendiri.
“Kerja Marine Tenure Initiative ini diharapkan mampu mengadvokasi kerja-kerja kolektif di daerah,” terang Cindy.
Selain Kick off Meeting, juga dilaksanakan peningkatan kapasitas dalam rangka implementasi program Marine Tenure Initiative di Indonesia. Kegiatan ini berlangsung mulai 27 hingga 29 April 2024.
#AN