BOGOR- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Tenure Facility menggelar diskusi continuation phase dari proyek Tenure Facility di kantor BRWA, di Bogor (02/04/2024).
Julia Kalmirah, penanggung jawab Program Tenure Facility menjelaskan bahwa pertemuan ini adalah bagian dari Monitoring, Evaluating, and learning (MEL) atas project Tenure Facility yang telah berjalan selama 2 tahun di Indonesia dan pembahasan untuk fase selanjutnya.
Julia Kalmirah penanggung jawab Program Tenure Facility menjelaskan tentang 4 poin utama yang akan menjadi pembahasan dalam diskusi
“Ada 4 poin yang menjadi konsen untuk dibahas. Pertama, apa yang menjadi kebaruan di fase selanjutnya yang berbeda dengan fase sebelumnya. Kedua, kondisi, tantangan serta peluang ke depan dimana hal tersebut akan mempengaruhi strategi dan target selanjutnya. Ketiga, rencana implementasi termasuk mitra co-implementor yang akan dilibatkan. Keempat, identifikasi resiko yang akan dihadapi kedepan.” Papar Julia Kalmirah
Turut hadir dalam pertemuan ini adalah organisasi sayap AMAN yaitu PPMAN, BPAN, dan PEREMPUAN AMAN. Sementara, BRWA sebagai organisasi host dari jaringan kerja Indigenous People and Community Conserved Area (ICCA) di Indonesia mengikutsertakan sekretariat Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dalam diskusi ini. Terakhir, Jaringan Kerja Pemetaan partisipatif (JKPP) turut diundang sebagai mitra co-implementor baru.
AMAN bersama organisasi sayap dan BRWA bersama ICCAs Indonesia (WGII), melalui dukungan Tenure Facility (TF) selama 2 tahun terakhir, berfokus pada 5 area intervensi yaitu meningkatkan tenure security wilayah adat seluas 500.000 hektar; peningkatan kapasitas masyarakat adat; penanganan konflik; pengelolaan wilayah dan sumber-sumber penghidupan masyarakat adat; dan mendorong peningkatan dukungan publik yang lebih luas untuk reforma agraria dan tenure rights.
Penguatan basis klaim masyarakat adat melalui pemetaan partisipatif dan integrasi peta wilayah adat
Yoga Saeful Rizal, Manager Dukungan Komunitas AMAN, secara rinci menyampaikan capaian yang sudah diperoleh selama 2 tahun dari implementasi proyek ini dan bagaimana capaian ini berkontribusi terhadap keamanan dan jaminan hak tenurial masyarakat adat.
Ia melaporkan bahwa AMAN melalui unit pemetaannya (red: UKP3) memfasilitasi pemetaan partisipatif untuk 52 komunitas, dimana sebanyak 16 peta wilayah adat telah selesai prosesnya dengan total luas wilayah yang terpetakan adalah 229.813 hektar. Lalu, dilakukan juga pembaruan data peta wilayah adat di 42 komunitas dengan total luas 413.332 hektar.
Di sisi lain, BRWA melakukan validasi dan verifikasi untuk 180 peta wilayah adat, dengan rincian, registrasi sebanyak 65 wilayah adat seluas 3,6 juta hektar, verifikasi di 91 wilayah adat seluas 995.042 hektar, dan 24 sertifikasi wilayah adat seluas 1,27 juta hektar. Selain itu, juga dilakukan pendokumentasian area yang dikonservasi melalui praktik tradisional dan kearifan lokal (ICCA) oleh WGII bersama komunitas di 11 wilayah adat dengan total luas 400.945,19 hektar. Secara khusus juga dilakukan pemetaan partisipatif berbasis gender oleh PEREMPUAN AMAN di 5 komunitas adat.
Yoga menambahkan bahwa kerja pemetaan dan pendokumentasian ini saling terkoneksi dengan upaya advokasi pengakuan baik di tingkat daerah maupun di nasional, termasuk juga upaya advokasi One-Map Policy melalui integrasi data wilayah adat di simpul Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) dan Jaringan Informasi Geospasial Daerah (JIGD). Integrasi tersebut dilakukan dengan melibatkan Badan Informasi Geospasial.
“Kita bekerjasama dengan BIG dan kita berhasil mengintegrasikan 48 peta wilayah adat ke simpul JIGN dengan luas 1.620.732.” Ucap Yoga.
Mendorong pengakuan masyarakat adat dan hutan adat
Secara total, di Indonesia telah ada sekitar 300 peraturan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Menurut paparan Yoga, dukungan TF telah dialokasikan untuk mengintervensi pembentukan 20 Perda Masyarakat Adat dan 6 Perda diantaranya telah disahkan yaitu di Kab. Aru, Kab. Majene, Kab. Lamandau, Kab. Mamuju, Provinsi Kalimantan Selatan dan yang paling terbaru adalah di Provinsi Kalimantan Tengah. Meski sudah memperoleh pengakuan, pengamanan tenurial masih harus menempuh berbagai skema lanjutan seperti hutan adat dan tanah komunal.
Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen AMAN untuk urusan Politik dan Hukum, menjelaskan bahwa hutan adat masih menjadi skema utama yang dipilih AMAN dan BRWA. Namun, pilihan ini tidak mudah, terdapat dinamika dan tantangan dalam mendorong hutan adat. Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, belakangan banyak orang yang dilibatkan dalam verifikasi teknis hutan adat yang disebut sebagai tim vertek multipihak.
“Agak mengkhawatirkan jika tim vertek multipihak ini memiliki perspektif yang berbeda terkait wilayah adat dan hak-hak masyarakat karena justru akan menghakimi masyarakat dan menghambat masyarakat adat dalam memperoleh pengakuannya sehingga kita cukup antisipatif mencari strategi tim verifikasi multipihak ini.” Ucap Kasmita Widodo, ia juga menambahkan, “belajar dari Gunung Mas (Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah), kita akhirnya mempersiapkan (masyarakat) betul.”
Kasmita Widodo, Kepala BRWA, menunjukkan capaian pemetaan wilayah adat dan registrasi-verifikasi wilayah adat
Dalam 2 tahun terakhir, proyek TF telah mendukung BRWA dan AMAN dalam penyiapan 37 dokumen usulan hutan adat dengan luas 553.632 hektar. Yoga menyampaikan bahwa sebanyak 26 hutan adat seluas 120.893 hektar telah ditetapkan melalui SK Menteri LHK.
“Tahun 2024 ini terdapat 6 hutan adat baru yang ditetapkan yaitu di kabupaten Tapanuli Utara, seluas 15.879 hektar,” tambah Yoga.
Mendorong kebijakan terkait masyarakat adat dan penguatan komunitas
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat masih menjadi fokus utama advokasi di tingkat nasional. Di samping itu, Working Group ICCAs Indonesia bersama lembaga anggota dan koalisi masyarakat sipil lainnya secara intensif selama 2 tahun terakhir melakukan intervensi terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. RUU ini dinilai dapat menjadi pintu masuk untuk mengakomodir Areal Konservasi Kelola Masyarakat dan hak-hak masyarakat atas ruang hidupnya di kawasan konservasi. Akan tetapi, rezim pemerintah hari ini masih menganut paradigma konservasi yang sentralistik dan tidak mengedepankan HAM sehingga pengawalan terhadap RUU ini menjadi penting.
“Rezim sekarang ini hanya kelanjutan dari yang sebelumnya, infrastruktur hukum sudah selesai di masa Jokowi. maka kita ketemu dengan satu kesimpulan sementara bahwa pengambilan wilayah adat akan semakin banyak ke depannya, maka pemetaan wilayah adat perlu diperluas karena peta wilayah adat menjadi basis klaim dan ini bisa menunjukkan visibilitas.” Kata Erasmus Cahyadi.
Ia menambahkan, “ke depan, kita akan coba dorong wilayah adat untuk didaftarkan ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Komunal sehingga dapat diperkarakan secara hukum jika ada permasalahan.”
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum, dan HAM AMAN, juga menambahkan bahwa selain HAKI Komunal untuk wilayah adat, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional juga perlu didorong melalui instrumen Peraturan Menteri LHK No. 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal.
Terakhir, Yoga menyampaikan capaian selama 2 tahun proyek TF untuk penguatan ekonomi dan peningkatan kapasitas masyarakat adat termasuk untuk perempuan dan pemuda adat. Ia memaparkan bahwa terdapat 20 kelompok pemuda untuk program Gerakan Pulang Kampung, 11 sekolah adat, asistensi perempuan adat di 5 komunitas melalui Engendering Participatory Mapping, dan inisiasi 6 kelompok Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) di 7 komunitas dengan berbagai unit usaha seperti gula aren, madu, dan lain-lain.
“Setidaknya total ada 1200 orang yang mendapatkan peningkatan kapasitas melalui pelatihan.” ungkap Yoga.
#AN