Bogor, 04/06/2024, Pada 22 Mei 2024 lalu, kita semua memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia dengan tema “Be Part of the Plan” yang menjadi seruan untuk mendorong pemerintah, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, organisasi non-pemerintah, pembuat undang-undang -undang, dunia usaha, dan individu untuk menyoroti cara-cara mereka mendukung implementasi Rencana Keanekaragaman Hayati. Setiap orang mempunyai peran untuk berkontribusi menjadi #PartOfThePlan.
Dalam konteks ini, kebijakan dan perencanaan keanekaragaman hayati di Indonesia saat ini akan didorong melalui RUU KSDAHE (Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem) yang masih dalam proses legislasi di parlemen, serta dokumen IBSAP ( Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia ) yang saat ini masih dalam proses penyusunan dan kesepakatan di tingkat Kementerian dan Lembaga. IBSAP sendiri merupakan implementasi kebijakan yang akan meneruskan komitmen pemerintah pada Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) untuk mencegah dan mengatasi krisis keanekaragaman hayati hingga tahun 2030.
Pada kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir sejak tahun 2022, WGII mencermati proses penyusunan RUU KSDAHE maupun IBSAP belum secara maksimal mengikutsertakan Masyarakat Adat, Komunitas Lokal dan Publik sebagai bagian aktor penting dalam konsultasi dan penyusunan kebijakan. Apalagi secara substansi, rancangan RUU KSDAHE versi terakhir memuat lebih buruk dari rancangan awal yang diusulkan DPR RI. Organisasi Masyarakat Sipil pada tanggal 19 Januari 2024, telah menyampaikan sikap penolakan terhadap RUU KSDAHE mengingat substansi yang berpeluang untuk memperbesar potensi krisis dan konflik keanekaragaman hayati dan hak asasi manusia.
“Praktik Konservasi yang kami lakukan beribu-ribu tahun seperti misalnya sistem perlindungan di Tana Ulen belum diakui dalam RUU KSDAHE, di sisi lain, RUU ini berpotensi melemahkan situasi di Kampung dan memicu konflik baru dengan Masyarakat Adat. Kami berharap pemerintah tidak tergesa-gesa untuk mengesahkan RUU KSDAHE jika memang belum sesuai dengan usulan kami, apalagi kalau sampai ada sanksi pelepasan hak atas tanah di Areal Preservasi, ini adalah masalah besar” Ujar Dolvina Damus mewakili Masyarakat Adat Dayak Lundayeh.
Kasmita Widodo (Koordinator WGII) menyampaikan “UU No.5/90 telah menorehkan sejarah kelam dari praktik penetapan kawasan konservasi yang telah dilakukan dengan proses yang ugal-ugalan dan abai terhadap proses FPIC. Salah satu konflik laten yang terjadi di Ruteng pada tahun 2004 yang terjadi konflik tumpang tindih wilayah adat dengan Taman Wisata Alam Ruteng yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia dan 28 orang luka luka dan 3 orang cacat seumur hidup. Baru-baru ini konflik lama ini terulang dengan ditangkapnya Pemangku Adat (Tua Teno) Ngkiong Mikael Ane di Desa Ngkiong Dora yang ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap menduduki wilayah Taman Wisata Alam Ruteng. Padahal Mikael Ane dan leluhurnya telah ada dan berdiam di wilayah hutan tersebut sebelum Taman Wisata Alam Ruteng ada dan melakukan aktivitas. Kasus ini hanya satu dari sebagian besar kasus konflik dalam penetapan kawasan konservasi yang terjadi di seluruh nusantara” .
RUU KSDAHE maupun IBSAP harusnya dapat menjadi harapan untuk memperbaiki krisis keanekaragaman hayati, iklim, maupun konflik dalam penyelenggaraan konservasi. Kebijakan-kebijakan ini seharusnya mengakui kontribusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang selama ini telah melindungi keanekaragaman hayati melalui kearifan lokalnya sebagaimana didorong pada komitmen KM-GBF. Pada 1 Juni 2024, WGII meluncurkan data terbaru dan mencatat angka Registrasi AKKM (Areal Konservasi Kelola Masyarakat Adat) pada sistem Registrasi AKKM di WGII yang saat ini telah mencapai angka 524.501 juta hektar dengan potensi AKKM mencapai 4,2 juta hektar. Data ini hanya sedikit dari praktik baik dan efektif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Jika dibandingkan data wilayah adat yang diregistrasi di BRWA yang saat ini telah mencapai hampir 28 juta hektar, tentu potensi AKKM bisa jauh lebih besar.