FoMMA keluarkan Rekomendasi Perlindungan Wilayah dan Hutan Adat Pada Lokakarya Memahami Valuasi Nilai-Nilai Lingkungan Hidup dan Keragaman Ekonomi Pengelolaan SDA,

 Admin    25-06-2024    00:00 WIB  

Blog Image

 

Malinau, 21 Juni 2024. Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kayan Mentarang telah menyelesaikan lokakarya Memahami Valuasi (Nilai-Nilai Lingkungan Hidup) dan Keragaman Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan oleh Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau.Lokakarya ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting terkait perlindungan dan pengelolaan wilayah dan hutan adat di Kabupaten Malinau.

 

“Ada tiga poin penting yang menjadi perhatian, yakni, Masyarakat Adat dan Wilayah Adat, Masyarakat Adat dan Kawasan Konservasi TNKM, dan Masyarakat Adat dengan PSN/PLTA” ungkap Ketua Badan Pengurus Harian Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kayan Mentarang, Dolvina Damus.

 

Pada poin pertama, Dolvina menjelaskan, masyarakat adat berkomitmen untuk melindungi, memelihara, dan mengelola wilayah adat mereka sebagai sumber hidup dan identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun. 

 

Pengelolaan ini dilakukan melalui mekanisme tata kelola adat yang ketat, dengan pengaturan yang menjaga fungsi ekosistem hutan, sumber air, dan sumber daya hutan sebagai sumber nafkah penting.

 

“Jika hutan hilang, maka obat-obatan tradisional, tradisi pergi ke hutan (berburu), kebiasaan makan umbut rotan, gaharu maka akan hilang juga. Nilai keberadaan ini menjadi prinsip dasar karena sudah mencakup hampir semua aspek kehidupan dan identitas masyarakat (social, budaya, ekonomi)” ucap Gat Khateb.

 

Masyarakat adat sepakat bahwa skema Hutan Adat adalah yang terbaik untuk melindungi hak-hak mereka. Pihaknya menegaskan bahwa semua status kawasan hutan yang mengancam hak-hak masyarakat adat harus dikeluarkan dari Hutan Adat.

 

Pada poin kedua, terang Dolvina, masyarakat adat menuntut peninjauan ulang terhadap manajemen Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), yang mencakup Kabupaten Malinau dan Nunukan. Mereka mendesak agar pengelolaan kolaboratif dengan prinsip berbagi peran dan tanggung jawab diimplementasikan, mengakomodir aturan adat, dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat juga mendesak agar TNKM dikeluarkan dari Hutan Adat dan diubah namanya menjadi Taman Adat Kayan Mentarang (TAKM), mencerminkan aspirasi kami untuk pengelolaan hutan yang lebih adil dan bermakna.” imbuh Dolvina.

 

Poin ketiga menyoroti keterlibatan masyarakat adat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Dimana pihaknya menyatakan belum mendapatkan informasi yang cukup mengenai manfaat dan dampak PSN. Untuk itu, pihaknya mendesak pertemuan dengan manajemen PSN untuk mendapatkan klarifikasi dan informasi yang diperlukan.

 

Diketahui bahwa saat ini ruang hidup masyarakat terancam hilang oleh proyek pembangunan PLTA sebagai salah satu proyek strategis nasional yang akan beroperasi di Kab. Malinau, sementara proses usulan hutan adat mereka tidak kunjung direalisasikan oleh KLHK sebab hutan adat yang diusulkan tersebut berada di dalam Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Manajemen Kolaboratif yang dianggap sebagai jalan tengah pun tidak berjalan efektif dan kembali menempatkan masyarakat sebagai pihak yang tidak memiliki hak dan akses terhadap pengelolaan SDA dan wilayah adat yang berada di dalam kawasan TNKM. 

 

Dolvina juga menegaskan, masyarakat adat menolak relokasi sebagai solusi atas dampak PSN karena dianggap dapat memusnahkan identitas dan jiwa mereka. Mereka menekankan bahwa relokasi harus mempertimbangkan tradisi, budaya, dan nilai-nilai lingkungan yang melekat pada masyarakat adat.

 

Rekomendasi ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk memastikan hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi. Lokakarya ini menegaskan komitmen masyarakat adat untuk mempertahankan dan memperjuangkan wilayah adat mereka dari ancaman eksternal.

 

Oleh karena itu, FoMMA dan perwakilan 11 Masyarakat Adat akan menindaklanjuti hasil lokakarya tersebut dengan melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi 1 DPRD Malinau untuk menyampaikan poin-poin rekomendasi di atas.

 

Perwakilan masyarakat adat yang hadir dalam lokakarya ini menyatakan bahwa nilai – nilai yang dimiliki masyarakat adat mencerminkan identitas dan keberadaan mereka. Sehingga jika nilai ini hilang maka akan berdampak pada hilangnya totalitas kehidupan masyarakat adat. Bagi masyarakat Dayak khususnya, nilai keberadaan tersebut sangat berkaitan erat dengan hutan sebagai ruang hidup dan hutan menjadi aspek penting yang selalu dirawat oleh masyarakat adat di Malinau. 

 

"Jika masyarakat adat tidak ada, hutan dengan segala kekayaan sumber alamnya juga akan hilang dan hancur karena tidak ada penjaga dan pelindungnya." tutup Dolvina.