Solusi Krisis Keanekaragaman Hayati dan iklim di Tangan Masyarakat Adat

 Admin    09-08-2024    00:00 WIB  

Blog Image

Bogor, 09/08/2024. Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama anggota mengajak publik dan para pengambil kebijakan untuk mengambil aksi konkret dalam mengatasi ancaman Triple Planetary Crisis yakni hilang nya keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan polusi, berbagai situasi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi, saat ini dan di masa yang akan datang.

 

Selaras dengan tema Konverensi Internasional yang diselenggarakan AMAN dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun ini, “Masyarakat Adat: Pengetahuan, Praktik dan Inovasi”, dorongan global melalui berbagai komitmen seperti KM-GBF dan Paris Agreement menyiratkan pesan penting bahkan upaya penanggulangan triple planetary crisis harus dilakukan melalui aksi kolektif yang melibatkan Masyarakat Adat. Masyarakat Adat dan Pengetahuan Tradisionalnya telah terbukti efektif dan berhasil dalam mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. 

 

Berdekatan dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, pada tanggal 8 Agustus 2024, Pemerintah me-launching dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) sebagai kebijakan dan panduan pelaksana dari implementasi KM-GBF (Kunming Montreal-Global Biodiversity Framework). Pada momentum launching IBSAP, WGII yang diwakili oleh Cindy Julianty selaku Program Manager menyampaikan pandangannya.

 

Unduh dokumen IBSAP 2025-2045 dan Buku Saku IBSAP 2025-2045

 


Cindy Julianty sampaikan soal praktik konservasi masyarakat adat & komunitas lokal dan kontribusinya terhadap pelestarian keanekaragaman hayati pada launcing IBSAP (8/8/2024)


 

“Menurut kami, Indonesia bukan hanya negara Mega-Biodiversity. Indonesia adalah negara Mega Bio-Cultural Diversity. Leluhur sudah mengajarkan kita bagaimana hidup harmoni dengan alam, sehingga konservasi keanekaragaman hayati adalah bagian dari kebudayaan kita. Praktik yang dilakukan masyarakat adat itu telah berkontribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, dan karenanya dapat juga dihitung sebagai kontribusi pada capaian IBSAP maupun KM-GBF. Kuncinya adalah pada pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat, karena pengetahuan tradisional dan kekayaan budaya kita adalah aset bangsa”.

 

Pada momentum hari Keanekaragaman hayati di bulan Mei 2024 lalu, WGII merilis data registrasi AKKM (Areal Konservasi Kelola Masyarakat). WGII mencatat ada 524.501 hektar wilayah yang dilindungi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal melalui praktik kearifan lokal, dengan potensi wilayah AKKM mencapai 4,2 juta hektar. Praktik yang disebut juga sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) ini tersebar di berbagai tipe landscape dan ekosistem, baik di wilayah daratan, maupun pesisir dan laut, seperti tana’ ulen, leweung titipan, lubuk larangan,awig-awig, sasi, dan lain-lain.

 

Unduh Status Terkini Registrasi Areal Konservasi Kelola Masyarakat Mei 2024

 

Meskipun, dorongan global semakin kuat untuk mengakui hak-hak Masyarakat Adat, dan praktik konservasi yang dilakukan Masyarakat Adat telah terbukti jauh lebih efektif dan berkelanjutan, WGII masih menilai beberapa kebijakan UU-KSDAHE yang baru saja direvisi maupun IBSAP belum secara maksimal memberikan kepastian hukum untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat.

 

“Kami memperhatikan beberapa pasal bermasalah dalam UU KSDAHE yang disahkan, misalnya terkait dengan pasal yang mengatur Areal Preservasi. Menurut kami belum begitu jelas, dan berpotensi menimbulkan konflik di lapangan dengan adanya pasal yang mengatur tentang pelepasan hak atas tanah yang bagi pemegang izin yang tidak melakukan kegiatan konservasi (ala negara). Selain itu UU KSDAHE juga tidak mengatur mengenai prinsip persetujuan (Free, Prior, Informed Consent) atau FPIC dan mekanisme resolusi konflik untuk penetapan Kawasan Konservasi yang dilakukan di wilayah adat” sambung Ihsan Maulana (Policy Engagement Officer WGII).

 

WGII menilai, UU KSDAHE tidak menunjukan perubahan yang transformatif, dan masih akan dilakukan melalui cara-cara lama, yang berpotensi meningkatkan angka konflik dengan perluasan model kawasan konservasi dengan adanya Areal Preservasi. Dengan kondisi berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat, maka RUU Masyarakat Adat harus menjadi prioritas agenda legislasi nasional. Ketiadaan UU Masyarakat Adat, akan menempatkan Masyarakat Adat dan lingkungan hidup dalam kondisi yang semakin terancam.

 


Narahubung : 

Cindy Julianty             : 0812-8177-3955

M.I Ihsan Maulana      : 0812-9290-9933

Unduh Rilis Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Solusi Krisis Keanekaragaman Hayati dan iklim di Tangan Masyarakat Adat


 

WORKING GROUP ICCAs INDONESIA

 

*Working Group ICCA Indonesia (WGII) adalah kelompok kerja yang terbentuk pasca terselenggaranya Simposium ICCAs di Bogor pada tanggal 13-14 Oktober 2011. WGII beranggotakan 20 Organisasi masyarakat sipil di Indonesia diantaranya adalah JKPP, AMAN, Sawit Watch, Pusaka, HuMa, KIARA, BRWA, Sawit Watch, NTFP-EP Indonesia dan WWF Indonesia. Kelompok kerja WGII bertujuan untuk mempromosikan dan meningkatkan pemahaman daripada praktik pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan oleh masyarakat adat dan lokal (ICCAs-Indigenous dan Community Conserved areas) yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, termasuk mendukung terwujudnya konservasi yang inklusif, adil, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal. WGII tergabung menjadi anggota ICCA Consortium pada tahun 2015, dan sampai saat ini aktif dalam memperkuat gerakan ICCA baik di level global, regional asia tenggara dan nasional.