Jelang Tenggat Komitmen Iklim Terbaru, Pemerintah Perlu Beri Ruang Kelompok Rentan

 Admin    30-08-2024    00:00 WIB  

Blog Image

Jakarta, 29 Agustus 2024. Indonesia tengah menghadapi kegentingan demokrasi dan iklim. Menjelang tenggat penyerahan dokumen komitmen kontribusi nasional kedua, atau disebut dengan istilah Second Nationally Determined Contribution (SNDC), yang rencananya jatuh pada bulan September 2024, koalisi masyarakat sipil mendorong agar Pemerintah menjadikan dokumen nasional ini sebagai momentum koreksi komitmen iklim yang lebih adil dengan proses yang lebih demokratis dan partisipatif. 

 

Sesuai dengan pernyataan Pemerintah di bulan Februari lalu, saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mempersiapkan dokumen tersebut. Dalam hal ini KLHK mewakili Pemerintah Indonesia, kepada proses Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani perubahan iklim global, atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

 

“Pemerintah harus menerapkan keadilan sosial dengan mengakui hak dan memenuhi kebutuhan spesifik dari subyek masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim, seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat dan lainnya. Hanya dengan cara itulah dapat terwujud keadilan iklim atau transisi yang adil,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, dalam peluncuran dokumen Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan yang didukung oleh 64 lembaga masyarakat sipil Indonesia. Dokumen ini sudah diserahkan ke KLHK sebagai masukan dari masyarakat sipil.  

 

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bencana iklim melonjak 81%, dari 1.945 insiden di tahun 2010 menjadi 3.544 di tahun 2022 dan berdampak pada lebih dari 20 juta orang. 

 

Laporan IPCC (2023) mencatat 79% emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan, serta 22% dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Sektor-sektor ini berkontribusi melalui alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam. 

 

Sejatinya, Pemerintah telah meluncurkan kebijakan untuk menangani perubahan iklim, termasuk komitmen emisi nol (Net Zero Emissions) pada 2060, Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Nilai Ekonomi Karbon. 

 

Sayangnya, ambisi ini belum cukup selaras dengan target global menurunkan emisi di angka 1.5 derajat Celcius. Bahkan target emisi nol pada 2060 yang Pemerintah Indonesia targetkan pun sebenarnya lebih panjang dari komitmen internasional yang sepakat mencapai emisi nol pada 2050. 

 

Artinya, rakyat Indonesia dalam bahaya. Terutama, kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh dan pekerja informal, kaum perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, orang muda, lansia, dan korban kekerasan berbasis gender menanggung dampak paling berat akibat perubahan iklim. Padahal, ketidakadilan iklim terjadi karena masyarakat adat dan kelompok rentan menanggung dampaknya, meskipun mereka bukan penyumbang emisi gas rumah kaca. 

 

“Dalam sepuluh tahun ke belakang, kita menyaksikan bahwa aksi perubahan iklim di Indonesia justru membuat yang rentan semakin rentan. Alih-alih menurunkan target emisi gas rumah kaca, strategi pembangunan malah mengesahkan proses perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat rentan. Kasus-kasus penambangan nikel, kawasan industri Rempang, kasus Wadas, bahkan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang mengklaim sebagai ibu kota hijau rendah emisi pun mendorong perusakan lingkungan dan perampasan hak warga,” tambahnya.

 


Masyarakat Adat, Petani, Nelayan dan Kelompok Rentan Dalam Bahaya

 

Dokumen “Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan” mengelaborasi para subjek masyarakat rentan yang terus menanggung derita akibat dampak perubahan iklim maupun aksi untuk menanggulanginya. Padahal, bukan mereka yang menyebabkan perubahan iklim.

 

Misalnya masyarakat adat. Dalam dokumen sebelumnya, yakni dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang terbit tahun 2022 Pemerintah telah menyatakan menjunjung tinggi kewajiban untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim. 

 

Sayangnya, hal dasar yang diminta justru abai dipenuhi, yakni pengakuan dan perlindungan wilayah adat beserta seluruh hak yang melekat. Badan Registrasi Wilayah Adat secara mandiri telah meregistrasi wilayah adat seluas 30,2 juta ha di mana 23,2 juta ha di antaranya adalah hutan adat. Tetapi  selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo baru mengakui 1,1% hutan adat, alias seluas 265.250 hektar saja. 

 

“Meskipun masyarakat adat hanya mencakup 6,2% dari populasi global, mereka melindungi 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam yang tersisa di dunia,” ujar Ihsan Maulana, Advokasi dan Peneliti Kebijakan WGII.

 

Dari pesisir, hasil survei pandangan nelayan tradisional terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2023 menggambarkan bahwa dampak perubahan iklim pada nelayan tradisional signifikan. Hasil survei menunjukan bawah 72% nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, 83% nelayan mengalami penurunan keuntungan, dan 86% nelayan mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan. 

 

“Situasi ini menunjukkan persoalan krusial yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Pada saat negara mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, akan tetapi situasi nelayan tradisional malah semakin memburuk,” kata Hendra Wiguna selaku Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, badan otonom dari KNTI. 

 

Untuk perempuan, kekeringan akibat perubahan iklim terbukti memberi beban ekstra bagi upayanya memenuhi kebutuhan air dan pangan untuk keluarga. Di Desa Kalikur dan Tobotani di Lembata Nusa Tenggara Timur, perempuan harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari air. 

 

Bagi perempuan Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas, perempuan tidak lagi menanam benih lokal yang lebih bergizi karena masa tanam yang tidak lagi sesuai dengan musim. Akhirnya mereka harus membeli pangan dari luar desa. Di perkotaan, pengeluaran rumah tangga membengkak untuk membeli air bersih.

 

“Padahal, selain merupakan kelompok yang paling rentan, perempuan adalah kelompok yang paling tinggi daya tahannya menghadapi perubahan iklim,” kata Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan. 

 

Bagi penyandang disabilitas, perubahan iklim membuat mereka semakin rentan karena berhadapan dengan hambatan struktural dan diskriminasi akibat akses terbatas pada sumberdaya dan informasi strategis. “Ketika bencana iklim melanda, penyandang disabilitas sering kali menjadi korban berlapis-lapis, dengan tingkat kematian empat kali lebih tinggi akibat kurangnya akses dan dukungan yang inklusif,” kata Fatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS). 

 

Menurut Masagus Fathan dari Climate Rangers Jakarta, komitmen emisi nol juga harus menyentuh keadilan antar-generasi melalui kemitraan dan distribusi pendanaan berbasis komunitas. Dokumen IPCC Synthesis Report 2023menunjukkan bahwa dalam berbagai skenario, penduduk kelahiran 1980-2020 dihadapkan dengan kenaikan suhu lebih tinggi 0,5-3°C dibandingkan penduduk kelahiran 1950-1980 semasa hidupnya. 

 

'Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menekankan, transisi ke energi terbarukan merupakan prakondisi pertama mewujudkan keadilan iklim. “Dokumen NDC kedua ini perlu menargetkan Indonesia mencapai 60% energi terbarukan pada tahun 2030 sejalan dengan 1.5°C,” katanya. 

 

Dari perspektif urban, Abdul Ghofar, Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebut emisi sektor limbah selama periode 2015-2022 menempati urutan ketiga teratas dengan emisi yang meningkat 33.47 persen selama rentang tujuh tahun, yakni dari emisi sebesar 97.539 gigaton karbon dioksida pada tahun 2015 menjadi sebesar 130.188 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e) pada tahun 2022. 

 

“Pemerintah perlu melakukan upaya serius dan ambisius mengurangi emisi sektor limbah, terutama berfokus pada pengurangan emisi gas metana dari sampah padat domestik melalui pengurangan sampah organik ke Tempat Pembuangan Akhir dan upaya lain seperti pelarangan pembakaran sampah terbuka, pembakaran tertutup di PLTSa, maupun pembakaran bersama di PLTU batubara dan pabrik semen,” katanya. 

 

Sejalan dengan itu, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan menegaskan perlindungan ekosistem di seluruh lanskap harus menjadi prioritas dalam menghadapi krisis iklim. Dalam ENDC, sektor kehutanan dan lahan (FOLU) menanggung 55% beban penurunan emisi GRK Indonesia. Akhirnya, sektor FOLU sering dipandang utamanya sebagai penyerap atau penyimpan karbon (sink). Padahal, perannya jauh dari sekadar karbon. 

 

“Upaya penurunan emisi harus dilihat secara holistik dan berbasis ekosistem, jangan hanya menekankan pada aspek ekonomi karbon, tetapi bagaimana memastikan masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan di tengah krisis iklim,” ujar Nadia. 

 

Oleh karena itu, menanggapi krisis demokrasi dan iklim yang sedang berlangsung di Indonesia, organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengambil tindakan tegas: 

  1. Menjaga demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi: Koalisi mendesak pemerintah untuk melindungi prinsip-prinsip demokrasi, memastikan suara semua kelompok, terutama yang rentan, didengar dan dihormati dalam pengambilan keputusan terkait iklim. Juga menghentikan segala bentuk represi yang mencegah warga negara berpendapat dan berekspresi. 
  2. Pengakuan dan perlindungan kelompok rentan: Koalisi mendesak pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak dan kebutuhan kelompok rentan, termasuk interseksionalitasnya, dalam seluruh aksi iklim di Indonesia. Pengakuan dan perlindungan subjek rentan harus tercantum secara jelas di bagian “Just Transition” dalam SNDC dan diintegrasikan ke dalam seluruh strategi dan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
  3. Partisipasi publik yang bermakna: Koalisi mendesak pemerintah untuk menjalankan partisipasi publik yang bermakna dalam seluruh proses dan tahapan aksi iklim di Indonesia, termasuk membentuk mekanisme pelibatan publik yang bermakna dalam penyusunan dan implementasi kebijakan-kebijakan turunan SNDC.
  4. Aksi iklim yang adil: Koalisi mendesak pemerintah untuk memastikan seluruh aksi iklim memberikan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rentan sementara beban pengurangan emisi yang lebih besar diberikan kepada kelompok-kelompok yang mengemisi paling banyak, terutama mereka yang memperoleh kemakmuran dari pelepasan emisi gas rumah kaca.
  5. Komitmen untuk memulihkan hak dan ruang hidup: Koalisi mendesak pemerintah untuk  melengkapi komitmen iklim dengan strategi pemulihan ruang hidup dan hak kelompok rentan yang menjadi korban dampak perubahan iklim, aksi perubahan iklim, serta kegiatan pembangunan serta memastikan penegakan hukum bagi perusak lingkungan dan pelanggar HAM, termasuk dengan merevisi peraturan perundangan yang memberikan impunitas bagi para pelaku kejahatan dan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia.
  6. Mengadopsi pendekatan iklim terintegrasi: Koalisi mendesak pemerintah untuk mengadopsi pendekatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dan berfokus pada resiliensi lanskap untuk menjamin hak atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan bagi semua.

 

***

 

Narahubung:

 

  1. Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, [email protected], +62 811-383-270 
  2. Hendra Wiguna, Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), [email protected],  +62 856-0022-3661
  3. Ihsan Maulana, Policy Engagement Officer Working Group ICCAs Indonesia (WGII), [email protected],  +62 812-9290-9933
  4.  Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, [email protected], +62 812-6790-950     
  5.  Fatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), [email protected], +62 822-2664-7301 
  6. Abdul Ghofar, Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI, [email protected], +62 +62 856-4552-0982
  7. Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, [email protected], +62 811-132-081

 

 

 

 

Penjelasan Tambahan: 

Komitmen Iklim Kedua atau Second Nationally Determined Contribution (SNDC) tengah disiapkan Pemerintah Indonesia. Pada September 2024 mendatang, Pemerintah Indonesia berencana menyerahkan dokumen SNDC tersebut ke Sekretariat UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Sebagai bagian dari mandat Perjanjian Paris, setiap negara pihak —termasuk Indonesia di dalamnya, wajib berkontribusi atas penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mencapai target global untuk menahan laju pemanasan global agar tidak melebihi satu koma lima derajat celcius,  pada akhir abad ini. Tahun ini merupakan keempat kalinya Pemerintah Indonesia menyerahkan pembaruan komitmen iklim nasional sejak 2015[1].  

 

Meskipun SNDC merupakan komitmen Indonesia dalam memenuhi perjanjian global, SNDC juga mencerminkan landasan kebijakan yang memuat strategi, aksi, langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim di dalam negeri. Sebelumnya, dalam komitmen iklim terakhir (ENDC), Pemerintah Indonesia telah memperbarui target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional dari kondisi tanpa intervensi (Business as Usual) pada 2030. Dalam rangka menjaga batas aman kenaikan suhu bumi sebesar satu koma lima derajat celcius, masyarakat global mengamini pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) perlu ditetapkan lebih ambisius. Namun, belajar dari komitmen sebelumnya, dan aksi-aksi perubahan iklim di Indonesia dalam 10 tahun belakangan, aksi-aksi perubahan iklim tersebut berisiko mempertinggi ketimpangan dan ketidakadilan yang merupakan akar masalah perubahan iklim jika tidak ada komitmen kuat pada keadilan iklim. 

 

Dalam komitmen sebelumnya, meskipun pemerintah Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK dan adaptasi, dokumen tersebut belum secara eksplisit mengadopsi prinsip keadilan iklim. Padahal, keadilan iklim, penghormatan terhadap masyarakat adat, hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap kelompok rentan telah diakui dalam Persetujuan Paris dan berbagai keputusan COP. Oleh karenanya, keadilan iklim seharusnya dioperasionalisasikan ke dalam Second NDC. Keadilan Iklim yang memuat dimensi keadilan prosedural, keadilan distributif, keadilan rekognitif, dan keadilan restoratif memusatkan agenda pembangunan Indonesia untuk mencapai visi emasnya pada 2045 yang tidak hanya sejalan dengan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GKR) tetapi juga perlindungan dan penerapan hak asasi manusia.

 

Dalam kajian cepat yang dilakukan masyarakat sipil di bulan April 2024 terhadap dokumen ENDC, masyarakat sipil menilai dokumen yang dilansir tahun 2022 itu masih minim pengakuan terhadap ragam subjek masyarakat rentan. Kedua, komitmen pemerintah Indonesia belum memiliki mekanisme partisipasi yang memadai. Ketiga, dokumen tersebut tidak memiliki target distribusi beban dan manfaat aksi-aksi perubahan iklim secara proporsional. Keempat, dokumen ENDC tidak memiliki strategi aksi pemulihan terhadap perusakan lingkungan dan pelanggaran hak yang melekat pada pelepasan emisi gas rumah kaca di Indonesia. 

 

Faktanya, pelepasan emisi GRK secara masif dalam 20 tahun ke belakang justru memperkaya segelintir elit di Indonesia yang menopang rezim yang berkuasa. Keterancaman subjek-subjek rentan dari dampak perubahan iklim seperti terabaikan. Malahan, atas nama penurunan target emisi gas rumah kaca, strategi pembangunan maupun aksi perubahan iklim pemerintah Indonesia mengesahkan proses-proses perusakan lingkungan dan perampasan hak atas ruang hidup terus berlanjut. 

 

Mengingat minimnya pelibatan bermakna kelompok rentan dalam rangkaian dan proses penyusunan SNDC, sejak Februari 2024, Koalisi Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan mengupayakan satu tindakan yang secara strategis ditujukan untuk menggalang dan menyusun secara bersama-sama muatan sampai dengan masukan terhadap dokumen SNDC yang mengarusutamakan hak-hak subjek rentan dapat diakomodir dalam setiap aksi dan kebijakan iklim berdasarkan hambatan, kerentanan dan kebutuhan yang berbeda. 

 

Dalam prosesnya, hingga Agustus 2024, Kelompok Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan menyusun dokumen masukan melalui Rekomendasi untuk Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) Indonesia yang Berkeadilan, yang menghadirkan muatan Keadilan Iklim dalam Second NDC Indonesia. Sejalan dengan masukan itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk:

 

Pertama, secara eksplisit mengakui ragam subjek rentan dan interseksionalitasnya yang mendapatkan dampak, kebutuhan, dan kapasitas yang berbeda. Pengakuan ini merupakan perwujudan dimensi keadilan rekognitif.  

 

Kedua,  memastikan pelibatan publik secara bermakna dalam penyusunan dokumen hingga implementasi SNDC terutama subjek rentan mencakup perempuan dan anak-anak, lansia dan orang muda, ragam penyandang disabilitas, petani kecil, buruh dan pekerja informal, nelayan tradisional, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir, masyarakat adat serta rakyat miskin kota melalui tetapi tidak hanya terbatas pada keterbukaan informasi, akses, partisipasi dan kontrol yang terbuka dan memadai, akuntabel, aksesibel serta inklusif. Hal ini untuk memastikan hak dan kebutuhan subjek-subyek rentan terakomodir dalam seluruh proses dan tahapan penyusunan NDC sebagai perwujudan dimensi prosedural. 

 

Faktanya, Pemerintah Indonesia masih memiliki tantangan dalam penerapan demokrasi substantif, yang ditandai dengan indeks kualitas demokrasi Indonesia yang menurun signifikan (Freedom House, 2023). Partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapan penyusunan regulasi dan kebijakan merupakan prasyarat utama atas terwujudnya enabling condition berkualitasnya demokrasi. Meningkat dan meluasnya dampak krisis iklim terhadap kehidupan bumi dan manusia,terutama bagi subjek rentan seperti perempuan dan anak-anak, lansia dan orang muda, ragam penyandang disabilitas, petani kecil, buruh dan pekerja informal, nelayan tradisional, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir, masyarakat adat serta rakyat miskin kota, harus menanggung akibat ancaman dan dampak terberat dalam situasi krisis iklim. Untuk itu, proses penyusunan SNDC saat  ini, haruslah menjamin dan memastikan partisipasi bermakna subjek rentan, sehingga substansi SNDC akan berkontribusi pada ketahanan dan penyelamatan subjek rentan dari dampak perubahan iklim. 

 

Pada proses Konsultasi Rakyat yang diselenggarakan ARUKI (Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim), subjek rentan menyebutkan bahwa hak atas informasi dan pelibatan bermakna subjek rentan pada penyusunan kebijakan dan aksi-aksi iklim tidak terpenuhi. Akibatnya, kebijakan dan aksi-aksi iklim yang ada, tidak berkontribusi pada daya adaptasi subjek rentan, justru dilihat memperburuk kemampuan adaptasi subjek rentan dalam merespon krisis iklim. Bagi kelompok Penyandang Disabilitas, Perubahan Iklim adalah isu yang elitis, maskulin, dan ableist karena sulit dipahami sebab pendekatan informasi yang digunakan oleh negara tidak mempertimbangkan hambatan dan kebutuhan masing-masing ragam disabilitas.

 

Ketiga, dokumen SNDC wajib memastikan mekanisme distribusi beban dan manfaat secara proporsional. Dimensi distributif dari keadilan iklim bertujuan mengatasi ketimpangan dengan cara mendistribusikan manfaat aksi perubahan iklim lebih besar kepada subjek-subjek rentan. Sebaliknya aksi perubahan iklim perlu menekankan bahwa beban pengurangan emisi terdistribusi lebih besar kepada kelompok-kelompok yang mengemisi lebih besar bahkan mendapatkan kemakmuran dari pelepasan emisi GRK.   

 

Keempat, mengingat berbagai subjek menjadi rentan akibat struktur sosial serta aksi-aksi pembangunan yang merusak ruang hidup dan hak, komitmen pemerintah Indonesia perlu dilengkapi dengan strategi pemulihan ruang hidup dan hak bagi korban-korban terdampak perubahan iklim, aksi perubahan iklim, dan pembangunan. Hal ini bertujuan agar tidak ada pihak yang terabaikan dalam aksi perubahan iklim. Justru, pemulihan ruang hidup dan hak adalah prasyarat mutlak bagi korban agar mampu menghadapi dampak perubahan iklim. Sebagai perwujudan prinsip dan dimensi restoratif/korektif, selain pemulihan, komitmen Indonesia ke depan perlu memastikan penegakan hukum bagi para perusak lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia. Bahkan, Pemerintah Indonesia perlu berkomitmen merevisi sejumlah peraturan perundangan yang memberikan ruang impunitas bagi perusak lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia. 

 

Kelima, SNDC perlu mengadopsi paradigma baru yang melampaui sekadar penurunan emisi semata. Pendekatan tersebut adalah pendekatan resiliensi lanskap, yang di dalamnya memuat resiliensi ekosistem, resiliensi sosial dan resiliensi ekonomi dengan mengakui situasi dan dampak berbeda dari setiap subjek rentan. Dokumen SNDC yang disiapkan Pemerintah Indonesia perlu memprioritaskan pendekatan terintegrasi antara aspek mitigasi dan adaptasi untuk menjamin hak atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan bagi semua subjek agar mampu menghadapi tantangan perubahan dan hidup lebih sejahtera lahir dan batin. Dengan prinsip keadilan iklim dan resiliensi lanskap, aksi iklim tidak hanya berfokus pada mitigasi emisi, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, perlindungan sosial, perlindungan lingkungan, dan ketahanan lanskap secara menyeluruh. Pendekatan ini membutuhkan kolaborasi, partisipasi, dan kesetaraan untuk membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

 

Secara operasional, masyarakat sipil mengusulkan dimensi-dimensi keadilan iklim dan pendekatan resiliensi lanskap diterapkan pada 7  tema dengan prioritas spesifik. 

 

Tema-tema tersebut adalah: 

  1. Transisi energi berkeadilan: Memastikan transisi energi yang adil, terjangkau, dan demokratis, dengan memprioritaskan energi terbarukan yang dikelola oleh masyarakat, serta pemulihan lingkungan dan hak warga terdampak selama energi kotor beroperasi.
  2. Industri hijau: Mendorong industri yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, dengan menciptakan lapangan kerja yang layak dan melindungi hak-hak pekerja.
  3. Perlindungan ekosistem: Menghentikan deforestasi, melindungi dan merestorasi ekosistem, dengan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal dan memastikan pengelolaan yang berkelanjutan.
  4. Kedaulatan pangan: Membangun sistem pangan berbasis pangan lokal yang adil dan berkelanjutan, dengan mendukung perlindungan produsen pangan kecil (petani dan nelayan)  serta mempromosikan kedaulatan pangan.
  5. Pemenuhan hak atas air dan sanitasi: memulihkan daerah tangkapan air dan sumber air, serta menjamin akses yang adil dan terjangkau terhadap air bersih dan sanitasi yang aman dan berkelanjutan.
  6. Permukiman dan infrastruktur inklusif dan berkelanjutan: Mengembangkan infrastruktur yang tahan iklim dan inklusif, dengan mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan.
  7. Jaminan sosial dan penghidupan: Memperkuat sistem jaminan sosial yang responsif terhadap perubahan iklim, dan menciptakan peluang penghidupan yang adil dan berkelanjutan.

 

 

 

[1] Intended NDC atau First NDC (2015), Updated NDC (2021), Enhanced NDC (2022), serta Second Nationally Determined Contribution atau SNDC (2024).