Posisi masyarakat adat di Indonesia sering kali dipenuhi kontradiksi; mereka dipuji sebagai penjaga alam dan keanekaragaman hayati, namun kebijakan negara justru cenderung mengabaikan hak-hak mereka dan menjauhkan mereka dari tanah leluhurnya.
Dalam webinar bertajuk “Peace with Nature: Konservasi Berbasis HAM Masyarakat Adat untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati dan Ketahanan Iklim,” yang diselenggarakan oleh WGII bekerja sama dengan Mongabay Indonesia pada 19 Oktober 2024, Eko Cahyono dari Sajogyo Institute menjelaskan bahwa upaya konservasi di Indonesia tidak sepenuhnya bertujuan melestarikan alam. Sebaliknya, konservasi kerap digunakan sebagai alat oleh pemerintah untuk menguasai sumber daya alam dalam praktik yang dikenal sebagai "perampasan hijau" (green grabbing). Ia menegaskan, pendekatan konservasi berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan serta menghargai peran dan pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang menjadi ujung tombak pelestarian alam.
“Pendekatan pelestarian lingkungan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, etika, dan kebijakan menjadi sangat penting dalam mendukung Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak Masyarakat Adat sebagai paradigma baru konservasi,” ujar Eko Cahyono dalam webinar tersebut (19/10/2024)
Tangkapan layar, Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono dalam webinar "Peace with Nature: Konservasi Berbasis HAM Masyarakat Adat untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati dan Ketahanan Iklim." (19/10/2024)
Eko Cahyono menambahkan bahwa perempuan adat juga memiliki peran penting dalam konservasi, terutama dalam menjaga kedaulatan pangan melalui pengetahuan tradisional mereka. Oleh karena itu, penyelenggaraan konservasi perlu menerapkan pendekatan yang inklusif dengan mengakui peran beragam aktor dan mengedepankan hak-hak mereka. “Pendekatan konservasi berbasis HAM ini menggeser paradigma konservasi klasik yang lebih berfokus pada preservasi spesies biodiversitas, menuju paradigma baru yang menempatkan Masyarakat Adat sebagai subjek utama dalam pengelolaan lingkungan,” ujar Eko.
Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, Ibu Mia Siscawati, Ph.D., menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak perempuan adat dalam menentukan sistem pangan yang sesuai dengan lingkungan mereka. Ia menjelaskan bahwa perempuan adat memegang pengetahuan mendalam yang diwariskan turun-temurun, mencakup praktik-praktik pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya hutan non-kayu, dan tata kelola sumber air. Dengan mengintegrasikan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konservasi, hal ini ini dapat melindungi sumber daya lokal sekaligus memberdayakan perempuan adat sebagai pelaku utama pelestarian
“Penting sekali untuk mengakui hak perempuan adat dalam menentukan sistem pangan yang sesuai dengan pengetahuan dan lingkungan mereka. Perempuan adat sebagai penjaga tradisi dan pemilik pengetahuan lokal dan memiliki peran sentral dalam mempertahankan sumber daya pangan lokal. Mereka paham bagaimana melakukan siklus konservasi dengan menggunakan tanaman obat, mengelola hasil hutan, dan menjaga keseimbangan ekosistem,” ungkapnya.
Namun, Mia juga menekankan bahwa kedaulatan pangan yang mereka perjuangkan seringkali terancam oleh kurangnya akses terhadap lahan yang mereka perlukan untuk bertani dan mengumpulkan hasil hutan. “Kebijakan ekstraksi sumber daya alam akan merusak wilayah adat menciptakan wilayah yang tidak aman bagi Masyarakat Adat untuk mempertahankan kedaulatan pangan mereka, pengetahuan perempuan adat semakin tersingkir, sehingga upaya konservasi berkelanjutan pun terhambat,” tambahnya.
Pada saat ini hak Masyarakat Adat menjadi urgensi yang tidak hanya terkait dengan kelangsungan hidup mereka, tetapi juga dengan keberlanjutan alam yang mereka pelihara. Program Manager Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Cindy Julianti mengatakan bahwa Masyarakat Adat tidak hanya penting untuk diikutsertakan dalam konservasi tetapi juga perlu diakui sebagai subjek utama dalam menjaga keberlanjutan.
“Masyarakat Adat hidup dan bernafas bersama hutan, mereka menjaga dan menghormatinya sebagai sumber kehidupan. Masyarakat Adat adalah pelaku konservasi sejati, meskipun mereka mungkin tidak menyebut aktivitas mereka sebagai ‘konservasi’ dalam terminologi modern,” kata Cindy.
Cindy menjelaskan bahwa pelestarian lingkungan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau dianggap sebagai upaya kolektif yang sama di seluruh lapisan masyarakat. “Pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda dan sering kali tidak sepenuhnya memahami hubungan spiritual dan kultural yang dimiliki oleh Masyarakat Adat dengan alam. Padahal, Masyarakat Adat adalah bagian penting dari konservasi dan umumnya memiliki komitmen yang lebih kuat untuk melestarikan daripada merusak lingkungan,” ungkap Cindy Julianty.
Menurut Cindy, hubungan erat ini perlu dilihat sebagai dasar untuk mendukung konservasi berbasis hak agar Masyarakat Adat memiliki hak untuk melanjutkan kehidupan di atas lahan mereka tanpa intervensi yang merugikan. Dengan melibatkan mereka sebagai pelaku utama, potensi konflik dengan pemerintah yang memiliki tujuan lain di lahan-lahan adat pun dapat diminimalisir.
Namun kenyataannya sering menunjukkan bahwa proyek-proyek strategis pemerintah justru mengancam hak Masyarakat Adat atas tanah mereka. Ini diungkapkan oleh Dolvina Dalmus, Ketua Forum Masyarakat Adat Kalimantan Utara dari suku Dayak Lundayeh. “Masyarakat Adat Dayak Lundayeh banyak yang dipaksa untuk berpindah dari tanah leluhur demi kepentingan proyek pemerintah. Padahal, tanah ini adalah tanah kita yang dipertahankan sejak zaman dahulu, memiliki nilai historis dan spiritual termasuk makam leluhur yang dianggap sakral. Alam di sekitar tanah adat ini bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas dan budaya kami. Bagi kami, hutan adalah sumber kehidupan masyarakat,” tegas Dolvina.
Dolvina menjelaskan bahwa masyarakat Suku Dayak sejak lama telah hidup selaras dengan alam dan menjaga keseimbangan ekologis. Dan kehidupan mereka berlangsung karena mereka sangat bergantung dengan alam. “Kehidupan mereka yang erat dengan alam membuat mereka tidak melakukan eksploitasi berlebihan yang akan merusak ekosistem di sekitarnya. Namun, konflik kepentingan seringkali muncul ketika proyek-proyek pembangunan yang berskala besar menggusur lahan adat serta berpotensi merenggut kehidupan dan warisan budaya mereka yang berharga,” tambahnya.
Menyinggung soal konservasi berkelanjutan yang mengedepankan pendekatan berbasis HAM, Asti Noor, Knowledge Management WGII menekankan, “Perlu adanya perubahan pendekatan dalam memahami dan menerapkan kebijakan konservasi di Indonesia. Masyarakat adat perlu dianggap sebagai subjek konservasi, bukan objek yang hanya mengikuti aturan negara.” Asti menambahkan bahwa pendekatan ini tidak hanya memberikan jaminan hak bagi Masyarakat Adat untuk terus hidup di tanah leluhur mereka, tetapi juga mengakui kontribusi mereka dalam menjaga alam secara berkelanjutan.
Konservasi berbasis hak ini menuntut pengakuan atas otonomi Masyarakat Adat yang nantinya kebijakan pembangunan dan konservasi memperhitungkan pengetahuan lokal dan hak asasi Masyarakat Adat. Harapannya konflik-konflik antara pemerintah dan Masyarakat Adat dapat berkurang dan Masyarakat Adat dapat terus menjalankan perannya sebagai penjaga alam demi keberlanjutan generasi mendatang.****
Penulis: Ronna Meila Leswana
Editor: Asti Noor; Luluk Uliyah