Menuju COP 16: Dorong Indonesia untuk Akui Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati

 Admin    11-10-2024    00:00 WIB  

Blog Image


Bogor, 11 Oktober 2024 – Working Group ICCA Indonesia (WGII) menggelar diskusi strategis di Hotel Royal Padjajaran, Bogor, sebagai bagian dari persiapan menuju Konferensi Para Pihak (COP) ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Diskusi ini melibatkan perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dalam upaya mendorong pengakuan terhadap peran masyarakat adat dalam konservasi.

 

Potensi Besar ICCA di Indonesia

Dalam diskusi tersebut, WGII memaparkan data terbaru mengenai Indigenous and Community Conserved Territories and Areas (ICCAs) yang mencakup lebih dari 22 juta hektare. Wilayah ini tersebar di berbagai ekosistem, termasuk hutan, sungai, dan perairan.

"ICCA adalah wilayah konservasi yang dikelola langsung oleh masyarakat adat dan komunitas lokal," ujar Cindy Julianty, Program Manager WGII. Ia juga menyebut bahwa 52% dari 22 juta hektare potensi ICCA beririsan langsung dengan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBA) dan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), dengan mayoritas berada di Papua dan Kalimantan.

 

Integrasi IBSAP dalam Kebijakan Nasional

Perwakilan dari Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Martha Siregar, menanggapi data tersebut dengan menyatakan perlunya pemetaan lebih lanjut terkait pemangku hak ICCAs, legalitas masyarkat hukum adat, dan penyelesaian sengketa lahan atas wilayah masyarakat. Ia menjelaskan bahwa saat ini, Indonesia telah secara resmi meluncurkan IBSAP 2025-2045. Dokumen IBSAP mencakup tiga tujuan utama, 13 strategi, 20 target nasional, dan 95 kelompok aksi yang telah diselaraskan dengan KM-GBF dimana aspek IPLC juga sudah termuat di dalamnya.

Martha juga menambahkan bahwa pemerintah berupaya mengintegrasikan IBSAP dalam kebijakan nasional, termasuk melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045 dan kemungkinan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) untuk memperkuat implementasinya.


Gambar Martha Siregar memaparkan tentang dokumen IBSAP terbaru.

 

Agenda Prioritas untuk Negosiasi COP 16

Dengan hadirnya perwakilan Delegasi RI untuk COP 16, WGII menyampaikan sejumlah agenda penting yang perlu didukung pemerintah dalam negosiasi mendatang, antara lain:

1.      Partisipasi Non-State Actor, terutama CSO, masyarakat adat dan lokal, dan youth sebagai bagian dari pihak yang dapat mendukung monitoring, reporting, dan review IBSAP dalam bentuk multi stakeholder platform.

2.       Kerja sama dengan CSO untuk mengembangkan panduan sederhana terkait NBSAP yang dapat dibaca dan dimengerti oleh masyarakat.

3.      Safeguards yang melindungi sumber daya genetik dalam konteks DSI, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan pengetahuan tradisional agar mendapatkan manfaat yang adil.

4.      Adopsi Headline Indicator 22 dan 23 di target Monitoring Framework, salah satunya indikator tentang land use change & land tenure, 

5.      Resource mobilization, agar fokus pada mekanisme pembiayaan dan pendanaan yang sifatnya non-market benefit dibandingkan mekanisme berbasis pasar seperti offset., 

6.      Capacity building & clearing house mechanism, agar clearing house dapat menampung kontribusi masyarakat sipil, misal pendokumentasian ICCA, cerita sukses di masyarakat, dan untuk memantau progres implementasi secara sinergis, terutama target 17 terkait partisipasi, 

7.      Pemerintah Indonesia perlu mendukung Programme of Work dan Pembentukan Subsidiary Body of  Article 8J, yang mengasosiasikan pengetahuan tradisional dan perlindungan sumber daya genetik,

8.       Mendukung koneksi biodiversity & climate, yaitu sinergi aksi iklim dan kehati dengan memperhatikan aspek partisipasi dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal

 

Peran Pemuda dalam Konservasi

Dalam diskusi ini, GYBN sebagai organisasi yang fokus dengan isu pemuda juga menyoroti pentingnya peran pemuda dalam upaya konservasi, tidak hanya dalam aspek edukasi, tetapi juga dalam penyusunan kebijakan yang lebih inklusif.

Menanggapi semua rekomendasi ini, peneliti BRIN, Prof. Gono Semiadi, menyatakan dukungan bagi keterlibatan masyarakat sipil dan membuka peluang diskusi lebih lanjut dalam COP 16 yang akan berlangsung di Cali, Kolombia.

#AN