Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Dorong ASEAN Perkuat Hak Lingkungan dalam ASEAN Environmental Rights Framework

 Admin    13-03-2025    00:00 WIB  

Blog Image

Dokumen ini menyoroti dampak serius dari Triple Planetary Crisis—perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati—yang semakin mengancam Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam kajian tersebut, organisasi masyarakat sipil menyoroti perlunya ASEAN memiliki komitmen yang lebih kuat dalam menjamin hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia.


Kertas Posisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia terhadap ASEAN Environmental Rights Framework


Sejak tahun 2021, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) berinisiasi untuk menyusun suatu instrumen untuk penguatan pemenuhan hak atas lingkungan hidup di ASEAN, sebagai respon terhadap situasi Triple Planetary Crisis. Draf Deklarasi ini disusun oleh ASEAN Environmental Rights Working Group (AERWG). AERWG terdiri dari berbagai organisasi yang meliputi ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Representatives dari negara-negara anggota ASEAN, organisasi di tingkat ASEAN yang bergerak di isu keanekaragaman hayati, kepemudaan, hak asasi manusia, disabilitas, lingkungan hidup, perlindungan anak, perlindungan pejuang lingkungan, dan sebagainya.


ASEAN Declaration ini memiliki peran yang signifikan terhadap seluruh negara anggota ASEAN termasuk Indonesia. Pada dasarnya beberapa peran penting instrument ini adalah sebagai alat advokasi yang efektif di tingkat regional maupun nasional. Secara khusus, di tingkat ASEAN, deklarasi ini dapat menjadi safeguard terkait lingkungan hidup bagi negara-negara anggota untuk acuan pemenuhan hak atas lingkungan hidup.

 

Kritik dan Rekomendasi untuk ASEAN

Dalam dokumen tersebut, organisasi masyarakat sipil mengajukan beberapa poin kritis terhadap penyusunan ASEAN Environmental Rights Framework, termasuk:


Minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan lingkungan di ASEAN. Sehingga perlu adanya jaminan pelibatan masyarakat sipil dalam pengembangan Rencana Implementasi Regional dan penyediaan media informasi yang mudah diakses untuk memberikan informasi terkait lingkungan hidup kepada publik.


Kurangnya perlindungan bagi pejuang lingkungan hidup, yang masih menghadapi ancaman kriminalisasi dan kekerasan. Dalam dokumen ini penting sekali untuk memasukkan klausul yang secara eksplisit mengatur perlindungan dan jaminan hak bagi pejuang lingkungan hidup, khususnya dari berbagai bentuk kriminalisasi dan Strategic Law Against Public Participation (SLAPP).


Belum adanya pengakuan eksplisit terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pemangku kepentingan utama dalam perlindungan lingkungan.


Kurangnya komitmen dalam perlindungan ekosistem laut dan pesisir dari ancaman seperti Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.


Perlunya jaminan hak kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, nelayan kecil, dan buruh migran.


Mempertahankan dan memperkuat kewajiban terkait AMDAL, terutama juga melalui penambahan kewajiban terkait pembuatan asesmen dampak sosial guna menilai dampak-dampak sosial budaya dari suatu proyek Pembangunan menggunakan perspektif hak asasi manusia.


Mereka juga menuntut agar pemerintah Indonesia menjadi pemimpin dalam negosiasi ASEAN terkait kerangka hak lingkungan ini, serta memperjuangkan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam kebijakan lingkungan di tingkat regional.

 

Langkah Selanjutnya

Organisasi masyarakat sipil mendesak ASEAN untuk mengambil langkah nyata dalam memastikan bahwa deklarasi ini bukan hanya sekadar dokumen normatif, tetapi dapat diterapkan dalam kebijakan konkret di negara-negara anggota.


“Kami berharap frasa menganai hak masyarakat adat beserta kearifan dan pengetahuan tradisionalnya secara eksplisit disebutkan dalam deklarasi ASEAN, baik dalam preambul dan batang tubuh deklarasi, serta menghormati dan mendorong pengelolaan lingkungan berdasarkan nilai-nilai dari masyarakatadat dan komunitas lokal, termasuk nelayan kecil dan tradisional, tanpa adanya diskriminasi.” tutup perwakilan dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII).


Dengan semakin meningkatnya ancaman lingkungan di kawasan Asia Tenggara, dorongan dari masyarakat sipil ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi ASEAN untuk mengadopsi kebijakan lingkungan yang lebih progresif dan berkeadilan untuk seluruh kelompok Masyarakat.