Pada tanggal 2 Mei 2025, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang lanjutan pemeriksaan perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 terkait pengujian formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Permohonan pengujian formil UU KSDAHE ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai NTT, Mikael Ane. Dalam sidang tersebut, Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan sebagai kuasa hukum Para Pemohon menghadirkan dua orang saksi, yaitu Putu Ardana, perwakilan masyarakat adat Dalem Tamblingan, Bali dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).
Masyarakat Adat Dilibatkan Secara Simbolik
Putu Ardana mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses partisipasi yang dijalankan oleh DPR RI. Ia hadir sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi IV DPR RI pada 10 April 2023. Namun, keterlibatannya ternyata hanya bersifat simbolis—sekadar memenuhi formalitas partisipasi publik, tanpa ada indikasi bahwa masukannya dipertimbangkan secara substansial dalam penyusunan UU KSDAHE.
“Saya kaget sekaligus bangga, karena sebagai orang kampung, saya dilibatkan untuk ikut berperan serta dalam urusan negara. Jadi saya semangat sekali untuk datang ke Rapar Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan punya harapan yang sangat tinggi, karena saya menganggap banyak sekali praktik-praktik dan manajemen konservasi yang dilakukan negara itu sangat tidak sesuai dan tidak tepat dilaksanakan di Indonesia,” ungkap Putu Ardana
Putu Ardana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan pemeriksaan perkara No. 132/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi terkait uji formil UU KSDAHE.
Namun kebanggaan itu cepat berubah menjadi kekecewaan ketika prosesnya tak mencerminkan komitmen yang benar-benar mendengar aspirasi masyarakat adat.
“Saya diundang oleh Komisi IV DPR, namun hanya 4 orang anggota komisi yang hadir. Segelintir anggota DPR yang hadir pun tidak ada yang menanggapi. Sebagai narasumber saya hanya diberikan waktu 10 menit, dan sangat disayangkan setelah undangan tersebut saya tidak pernah mendapat update perkembangan. Tiba-tiba undang-undang ini sudah disahkan,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Putu Ardana menyampaikan kekecewaannya karena pandanganya yang disampaikan saat RDPU bersama Komisi IV DPR RI tanggal 10 aPRIL 2023 tidak diakomodasi dalam UU KSDHAE.
Minim Transparansi, Cacat Partisipasi
Kesaksian Putu Ardana diperkuat oleh keterangan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), yang memaparkan hasil pemantauan IPC terhadap minimnya transparansi dalam keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE—mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pengesahan. Arif secara khusus menyoroti buruknya keterbukaan informasi atas dokumen pembahasan dan risalah rapat serta tidak terpenuhinya prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.
IPC menyoroti bahwa pada tahap penyusunan naskah akademik, baik draf naskah akademik maupun masukan masyarakat terhadap draft tersebut tidak pernah dipublikasikan secara terbuka, baik melalui situs web resmi DPR maupun kanal YouTube DPR.
“Di web DPR hanya muncul dokumen naskah akademik saja,” jelas Arif saat memaparkan temuannya.
Selanjutnya, IPC mengidentifikasi dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, namun hanya 1 dokumen laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah rapat yang semestinya terbuka sesuai Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tidak tersedia sama sekali di kanal resmi DPR.
Lebih jauh, Arif juga menjelaskan bahwa IPC telah mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR—meliputi dokumen laporan singkat, risalah rapat, daftar hadir, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga dokumen Tim Panja. Namun seluruh upaya tersebut tidak membuahkan hasil; baik ditanggapi dengan informasi yang tidak dapat diakses, maupun ditolak secara langsung tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link tersebut tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” jelasnya.
MK Minta Pemerintah Serahkan Dokumen
IPC menggarisbawahi bahwa proses legislasi UU KSDAHE gagal memenuhi empat aspek partisipasi bermakna:
• Right to Information: hanya 4 dari 48 rapat yang memiliki dokumen laporan singkat, tidak ada catatan rapat dan risalah rapat yang dipublikasikan;
• Right to be Heard: masyarakat sipil hanya diberi waktu bicara sangat terbatas pada RDPU;
• Right to be Considered: tidak tersedia risalah rapat untuk menilai apakah masukan dari masyarakat sipil dipertimbangkan atau tidak;
• Right to be Explained: tidak ada umpan balik atau penjelasan atas masukan masyarakat.
“Padahal ini ruang untuk melihat apakah masukan stakeholder dipertimbangkan atau tidak,” pungkas Arif.
Kesaksian Putu Ardana diperkuat oleh keterangan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), yang memaparkan hasil pemantauan IPC terhadap minimnya transparansi dalam keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE—mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pengesahan. Arif secara khusus menyoroti buruknya keterbukaan informasi atas dokumen pembahasan dan risalah rapat serta tidak terpenuhinya prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.
IPC menyoroti bahwa pada tahap penyusunan naskah akademik, baik draf naskah akademik maupun masukan masyarakat terhadap draft tersebut tidak pernah dipublikasikan secara terbuka, baik melalui situs web resmi DPR maupun kanal YouTube DPR.
“Di web DPR hanya muncul dokumen naskah akademik saja,” jelas Arif saat memaparkan temuannya.
Selanjutnya, IPC mengidentifikasi dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, namun hanya 1 dokumen laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah rapat yang semestinya terbuka sesuai Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tidak tersedia sama sekali di kanal resmi DPR.
Lebih jauh, Arif juga menjelaskan bahwa IPC telah mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR—meliputi dokumen laporan singkat, risalah rapat, daftar hadir, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga dokumen Tim Panja. Namun seluruh upaya tersebut tidak membuahkan hasil; baik ditanggapi dengan informasi yang tidak dapat diakses, maupun ditolak secara langsung tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link tersebut tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” jelasnya.
MK Minta Pemerintah Serahkan Dokumen
IPC menggarisbawahi bahwa proses legislasi UU KSDAHE gagal memenuhi empat aspek partisipasi bermakna:
• Right to Information: hanya 4 dari 48 rapat yang memiliki dokumen laporan singkat, tidak ada catatan rapat dan risalah rapat yang dipublikasikan;
• Right to be Heard: masyarakat sipil hanya diberi waktu bicara sangat terbatas pada RDPU;
• Right to be Considered: tidak tersedia risalah rapat untuk menilai apakah masukan dari masyarakat sipil dipertimbangkan atau tidak;
• Right to be Explained: tidak ada umpan balik atau penjelasan atas masukan masyarakat.
“Padahal ini ruang untuk melihat apakah masukan stakeholder dipertimbangkan atau tidak,” pungkas Arif.
Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) memberikan kesaksian di Mahkamah Konstitusi terkait minimnya transparansi dalam proses penyusunan UU KSDAHE.
Majelis Hakim MK dalam sidang ini memerintahkan pemerintah untuk menyerahkan seluruh dokumen yang terkait pembahasan UU KSDAHE, termasuk daftar kehadiran peserta rapat, sebagai bagian dari pembuktian dalam perkara ini.
Sidang selanjutnya dijadwalkan pada hari selasa 6 Mei 2025, dengan agenda sidang mendengar keterangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), saksi dan ahli Presiden.
MK Diminta Menghadirkan DPR RI
Pada persidangan, Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan menyampaikan pentingnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan DPD RI, karena peran penting DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang menyangkut sumber daya alam.
“Supaya kami juga minta kepada Yang Mulia, untuk menghadirkan DPD. Karena berdasarkan Pasal 278 Undang-Undang MD3 disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk menyampaikan DIM yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga sumber daya alam. Itu dua hal itu, Yang Mulia. Terima kasih banyak”. Ujar Muhammad Arman - Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.
Terkait dengan pemberian keterangan oleh DPR RI pada sidang 28 April 2025 di Mahkamah Konstitusi dan ditemukan adanya fakta di persidangan pada 2 Mei 2025 bahwa keterangan-keterangan yang disampaikan oleh DPR dan Presiden berpotensial melanggar sejumlah prinsip dan aturan perundang-undangan. Hal ini tentu saja merupakan pembohongan publik melalui penyampaian informasi yg dapat dikategorikan sebagai rekayasa. Bentuk pelanggaran ini potensial untuk dilaporkan kepada MKD.
Jakarta, 03 Mei 2025
TIM ADVOKASI UNTUK KONSERVASI BERKEADILAN
“Supaya kami juga minta kepada Yang Mulia, untuk menghadirkan DPD. Karena berdasarkan Pasal 278 Undang-Undang MD3 disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk menyampaikan DIM yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga sumber daya alam. Itu dua hal itu, Yang Mulia. Terima kasih banyak”. Ujar Muhammad Arman - Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.
Terkait dengan pemberian keterangan oleh DPR RI pada sidang 28 April 2025 di Mahkamah Konstitusi dan ditemukan adanya fakta di persidangan pada 2 Mei 2025 bahwa keterangan-keterangan yang disampaikan oleh DPR dan Presiden berpotensial melanggar sejumlah prinsip dan aturan perundang-undangan. Hal ini tentu saja merupakan pembohongan publik melalui penyampaian informasi yg dapat dikategorikan sebagai rekayasa. Bentuk pelanggaran ini potensial untuk dilaporkan kepada MKD.
Jakarta, 03 Mei 2025
TIM ADVOKASI UNTUK KONSERVASI BERKEADILAN