WGII Luncurkan Status Terkini ICCAs: Negara Perlu Akui dan Lindungi Pengetahuan Tradisional Sebagai Pijakan Kebijakan Konservasi di Indonesia

 Admin    05-06-2025    00:00 WIB  

Blog Image

JAKARTA – Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menggelar diskusi media bertema “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang juga digunakan sebagai momentum peluncuran Data ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories) edisi terbaru, Mei 2025, pada Rabu, 4 Juni 2025 di Jakarta.


 

Diskusi ini diharapkan menjadi wadah penting untuk menyampaikan update data terbaru dari praktik ICCA dan dapat memperkuat sinergi lintas sektor antara pemerintah, media, peneliti dan organisasi masyarakat sipil. Kolaborasi ini dinilai penting untuk mendorong capaian target nasional dalam dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), sekaligus mendukung pencapaian target global dalam kerangka Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). 



“Kami ingin menekankan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati tidak bisa dilepaskan dari peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang telah sejak lama menjaga wilayah mereka dengan cara yang berkelanjutan dan berbasis nilai budaya,” ujar Koordinator WGII, Kasmita Widodo, saat memberikan sambutannya.



Menurut data yang dipaparkan oleh Knowledge Management WGII, Lasti Fardilla Noor, hingga Mei 2025, total registrasi nasional ICCAs atau area-area konservasi yang dikelola langsung oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal mencapai 647.457,49 hektar, dengan wilayah terbesarnya berada di Kalimantan yakni 385.744,26 hektar. WGII juga memetakan potensi ICCAs di Indonesia seluas 23,82 juta hektar, lebih tinggi dari data di tahun 2024 sebesar 22 juta hektar. Potensi ICCAs terbesar ada di wilayah Papua sebesar 9,37 juta hektar.



Wilayah tersebut turut melestarikan keanekaragaman hayati. Dari hasil analisis, sebanyak 66,4% dari keragaman jenis burung di Indonesia dan 22,8% dari keragaman jenis reptilia di Indonesia ditemukan di wilayah yang teridentifikasi sebagai ICCAs. Selain itu, melalui praktik konservasi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal mampu mendukung pemanfaatan berkelanjutan ragam tumbuhan yang memiliki nilai penting bagi kehidupan, seperti obat tradisional, pangan lokal, dan kosmetik alami. 



Cindy Julianty, Program Manager WGII, menyampaikan bahwa konservasi yang kerap dipaksakan di negara-negara Global South perlu di dekolonisasi karena warisan kolonial sering meminggirkan Masyarakat Adat dan menafikan pengetahuan lokal. Padahal, akar konservasi justru berasal dari kearifan tradisional Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem secara berkelanjutan.



Gerakan global kini mengangkat praktik-praktik tersebut, yang relevan untuk Indonesia dengan keragaman budayanya. WGII mendokumentasikan praktik konservasi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk mengisi kekurangan data guna mengakui dan melindungi wilayah kelola mereka. Dengan menyetarakan pengetahuan tradisional dan pendekatan sains, diharapkan Masyarakat Adat dapat terlibat penuh dalam kebijakan konservasi yang adil dan berkelanjutan.



“Berpuluh tahun menempatkan Masyarakat Adat sebagai objek, dia bukan pengambil keputusan. Saatnya kita mengembalikan keadaan dengan menempatkan mereka sebagai subjek konservasi,” kata Cindy.


 

Apa yang disampaikan Cindy dengan lugas juga digaungkan oleh salah satu pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA). Farwiza Farhan menyampaikan selama ini ada kesalahan dalam pendekatan konservasi alam, yakni dengan melakukan pemisahan antara manusia dan alam yang kemudian disadari bahwa ini adalah didikan yang diturunkan oleh kolonial. 



“Konservasi sejatinya melindungi penghidupan, tetapi memindahkan masyarakat ke luar kawasan tidak otomatis menghindarkan konflik satwa. Karena banyak koridor diserahkan ke konsesi, satwa justru beradaptasi di area yang tak terjaga dan menimbulkan benturan dengan warga. Padahal disaat bersamaan, seringkali negara itu itu tidak mampu untuk melakukan perlindungan terhadap area tersebut (Kawasan Konservasi),” kata penerima penghargaan Ramon Magsaysay di 2024 ini.


 

Sementara itu, Ir. Inge Retnowati, M.E, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup, atau Ibu Inge sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia sedang menyusun National Report ke-7 terkait untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap ratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD), dengan melibatkan berbagai pihak. Ia mengapresiasi hasil analisis yang disampaikan WGII sebagai dukungan penting dalam proses tersebut.




Merujuk Protokol Nagoya, turunan dari CBD, manfaat konservasi harus dibagikan secara adil, termasuk kepada Masyarakat Adat. Ibu Inge menegaskan penyusunan kebijakan harus kolaboratif, menjamin hak, perlindungan, dan kemandirian masyarakat. “Kita akan sama-sama ketemu dengan pihak lain untuk bangun roadmap yang akan mengidentifikasi apa yang diperlukan untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, dan bagaimana ini bisa bersinergi dengan agenda nasional-global. Ada roadmap yang ingin kita bangun, tapi harus sama-sama,” katanya.


 

Kynan Tegar, seorang film maker dan juga pemuda Dayak Iban dari Sungai Utik di Kalimantan Barat, juga menyampaikan tentang pentingnya representasi Masyarakat Adat dalam segala aspek upaya konservasi keanekaragaman hayati dan memberikan kembali kedaulatan kepada mereka untuk menyampaikan ceritanya sendiri.


 

“Data ini harus jelas dalam merepresentasikan apa yang menjadi penting buat Masyarakat Adat, dan memastikan data ini dibangun bersama mereka,” ujar Kynan. Kynan berharap agar pengakuan bagi Masyarakat Adat tidak hanya tidak hanya dilakukan karena kontribusi mereka dalam menjaga keseimbangan ekologis “Kalau kami dilindungi hanya sebagai penjaga hutan, buat saya itu kurang manusiawi, kami patut mendapatkan perlindungan dan pengakuan, karena itu adalah hak kami sebagai Masyarakat Adat” tambahnya.



Penanggap lainnya yang hadir adalah Direktur Forest Watch Indonesia, Mufti F. Barri, menyoroti bahwa ancaman keanekaragaman hayati di Indonesia bahkan terjadi di dalam Kawasan Konservasi, misalnya dengan adanya konsesi tambang dan perkebunan di dalam sana. Contoh yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah praktik hilirisasi nikel di wilayah timur Indonesia, seperti Raja Ampat. Padahal Raja Ampat sendiri merupakan rumah dari ribuan spesies flora dan fauna penting, dan sudah ditetapkan sebagai situs warisan dunia.



“Bayangkan di wilayah yang kita tau paling penting bagi keanekaragaman hayati, tetap dihancurkan untuk kepentingan industrialisasi nikel atas nama transisi energi, dari berbagai pihak yang berjuang, Masyarakat Adalah yang ada di garda terdepan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati yang tersisa, dan kita butuh lebih banyak data seperti ini (red: ICCA), bahwa kita punya kebudayaan konservasi yang jauh lebih efektif dalam melindungi keanekaragaman hayati”. Pungkas Ode sapaan akrab nya. FWI sendiri merupakan kolaborator dalam analisis data yang diluncurkan oleh WGII ini.

 

(***)



Narahubung:

Nafa (Media and Communication WGII)

+62 859-1484-91138

[email protected]


Link Publikasi WGII

https://bit.ly/ICCAMei2025


Link Siaran YouTube

Diskusi Media Data ICCA Mei 2025


Informasi terkait ICCAs

iccas.or.id