Tanpa Food Estate Baru, Indonesia Sudah Lampaui Kuota Deforestasi

 Admin    13-11-2024    00:00 WIB  

Blog Image

Baku, Azerbaijan, 13 November 2024 — Food Estate atau program lumbung pangan nasional bukanlah jawaban atas permasalahan pangan di Indonesia. Program ini berpotensi merusak ekosistem hutan alam yang seharusnya dijaga. 

 

Pernyataan ini menanggapi pidato Utusan Khusus Delegasi Republik Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo di depan sidang plenary COP29 (12/11/2024) yang menyebut bahwa program Food Estateterus berjalan. Sebelumnya, Presiden Prabowo telah berkunjung ke lokasi Food Estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan yang telah diplot seluas lebih dari 2 juta hektar sebagai fokus garapan Food Estate pemerintahannya. 

 

Menurut Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan yang turut hadir di ajang COP29 Baku, Azerbaijan,  Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional berpotensi menjadi  karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan. Padahal Indonesia memiliki komitmen FOLU Net Sink 2030, dengan target pengurangan laju deforestasi 4,22 juta hektar hingga 2030. 

 

Berdasarkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, deforestasi Indonesia sampai 2019 sudah mencapai 4,8 juta hektar. Artinya, kuota deforestasi Indonesia sudah terlampaui atau minus 577 ribu hektar. Dengan membuka Food Estate, ini lebih jauh lagi mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia kepada dunia.

 

“Proses pemulihan ekosistem melalui restorasi dan rehabilitasi lahan membutuhkan waktu sangat lama dan seringkali tidak mampu mengembalikan ekosistem ke kondisi semula, seperti ekosistem gambut dan mangrove,” kata Nadia dalam keterangan persnya (13/11/2024).

 

Nadia menjelaskan untuk  mencapai target NDC, pencegahan deforestasi harus diutamakan dengan menerapkan kebijakan yang tepat. “Mengandalkan restorasi dan rehabilitasi saja akan mempersulit pencapaian komitmen iklim Indonesia. Cegah dulu, baru restore,” kata Nadia.

 

Dalam pidatonya Hashim menggunakan argumen bahwa program ketahanan pangan sangat diperlukan untuk menjaga kemandirian Indonesia dari guncangan eksternal yang telah kita lihat dan alami dalam beberapa tahun terakhir. Adik kandung Presiden Prabowo itu mencontohkan Pandemi COVID-19 dan Perang Ukraina-Rusia menjadi penyebab melonjaknya harga pangan dan harga pupuk, beberapa waktu lalu.

 

Hashim menyebutkan bahwa dunia internasional salah paham dengan program lumbung pangan yang disebut merusak hutan. “Indonesia akan menciptakan kembali, merevitalisasi, meremajakan hutan yang terdegradasi (akibat program Food Estate). Ini sudah merupakan program yang akan mengurangi masalah apa pun yang mungkin timbul,” katanya melanjutkan. 

 

Cindy Julianty dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menganggap program Food Estate gagal dalam menanggulangi isu ketahanan pangan dan banyak menimbulkan konflik. Salah satunya dengan masyarakat adat. “Fakta empirik yang terjadi di Merauke saat ini ada lebih dari dua juta hutan yang merupakan bagian dari wilayah adat di masyarakat Malid, Maklew, Khimaima dan Yei yang dibabat habis untuk urusan food estate,” katanya.

 

Hutan merupakan sumber pangan alami masyarakat adat bahkan merupakan bagian dari tempat berkembangnya keanekaragaman hayati. Cindy juga menyebutkan perlunya masyarakat mencermatii melihat target restorasi hutan 12,7 juta hektar pada Pemerintahan Prabowo Subianto. 

 

“Apakah angka ini tumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atau tidak? apakah akan dilakukan melalui proses konsultasi dan  FPIC, dan apakah masyarakat adat atau lokal menjadi penerima manfaat dari agenda restorasi ini?” katanya.

 

Pentingnya Bergabung dengan Kemitraan FCLP dan Meraih Pendanaan Iklim

Nadia mempertanyakan belum bergabungnya Indonesia dalam kemitraan FCLP (Forest and Climate Leaders’ Partnership). FLCP merupakan inisiatif untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan pada tahun 2030 (halting and reversing forest loss by 2030). “Padahal dalam pernyataan-pernyataan para kepala dan pejabat negara dalam panel tersebut beberapa kali menyebutkan Indonesia sebagai champion dalam inisiatif FOLU Net Sink 2030,” kata Nadia.

Bergabungnya Indonesia dalam kemitraan, tambahnya, dapat memastikan mobilisasi pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan pemilik hutan tropis untuk melindungi hutan tropis sehingga dapat mencapai target iklim global yang tercantum dalam Perjanjian Paris.

 

Menurut Eka Melisa dari Kemitraan, sangat disayangkan special message dari Hashim pada plenary COP 29 tanggal 12 November 2024 tidak mengedepankan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki kerentanan cukup tinggi terhadap perubahan iklim, dimana peningkatan kapasitas daya tahan dan daya lenting  menghadapi perubahan iklim menjadi sangat penting. 

 

Apalagi, ini adalah COP Finance, harusnya bagaimana akses dan penyaluran pendanaan iklim yang tepat sasaran, termasuk  berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan nasional maupun lokal pada ketiga isu penting ketahanan iklim, perlu jadi salah satu prioritas Indonesia.

 

“Ini harus jadi satu paket, sebagaimana kita usung di dokumen Enhanced NDC juga: ketahanan ekosistem dan lansekap, ketahanan masyarakat dan sosial dan ketahanan ekonomi,” kata Eka. 

 

Iqbal Damanik dari Greenpeace melihat bahwa Indonesia tidak memimpin dan tidak memiliki target dan pesan yang jelas dan kuat terkait pendanaan di COP29 Baku ini. “Sangat disayangkan pada COP29 Baku yang digadang-gadang sebagai COP yang fokus pada pendanaan ini, Indonesia belum melihat pentingnya memainkan peran signifikan dalam mengarahkan agar pendanaan iklim tepat sasaran,” katanya.

 

Indonesia seharusnya mampu menjadi pengeras suara bagi negara-negara yang rentan krisis iklim. “Indonesia harus mengambil peran di global, agar memiliki kesempatan dalam meraih pendanaan iklim yang lebih besar, seperti pendanaan untuk aksi mitigasi, adaptasi, dan loss & damage,” kata Iqbal.*****

 


 

Siaran Pers 13 November 2024, Tanpa Food Estate Baru, Indonesia Sudah Lampaui Kuota Deforestasi 

 

Narahubung:

1. Nadia Hadad - MADANI Berkelanjutan | +62 811132081

2. Cindy Julianty, WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities Conserved Areas and Territories Indonesia) | [email protected] | +62 851-2110-7321

3. Iqbal Damanik - Greenpeace Indonesia | +62 811-4445-026

4. Eka Melisa - Kemitraan Partnership for Governance Reform | +62 818-764-746

 

Arsip foto resmi COP 29 https://cop29.az/en/media-hub/media-gallery

Special Envoy Hashim Sujono Djojohadikusumo di Paviliun Indonesia menyampaikan sambutannya dalam sesi Sustainable Nature-based Climate Solution

 

Catatan Redaksi:

  1. Working Group ICCAs Indonesia (WGII) merupakan kelompok kerja yang terbentuk pasca terselenggaranya Simposium ICCAs di Bogor pada tanggal 13-14 Oktober 2011. ICCAs Indonesia beranggotakan beberapa 10 NGO Nasional di Indonesia diantaranya adalah JKPP, WWF Indonesia, KIARA, NTFP- EP Indonesia, WALHI, AMAN, Sawit Watch, Pusaka, Huma dan BRWA. Kelompok kerja WGII bertujuan untuk mempromosikan dan meningkatkan pemahaman daripada praktik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal (ICCAs - Indigenous and Community Conserved Areas) yang berbasis pada kearifan lokal atau kebiasaan lokal yang dilakukan oleh mereka. WGII tergabung menjadi anggota ICCA Consortium sejak tahun 2015, dan sampai saat ini aktif dalam memperkuat gerakan ICCA baik level global dan nasional dalam rangka pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas atas wilayah, tanah dan ICCAs mereka.
  2. FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink adalah kondisi di mana tingkat serapan karbon oleh sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan pada tahun 2030.